Minggu, 08 Mei 2011

Perang Salib Kedua

Perang Salib Kedua (11451149) adalah perang salib kedua yang dilancarkan dari Eropa. Perang ini meletus akibat jatuhnya County Edessa pada tahun sebelumnya. Edessa adalah negara tentara salib yang pertama kali didirikan selama Perang Salib Pertama (10951099), dan juga negara yang pertama kali jatuh. Perang Salib Kedua diumumkan oleh Paus Eugenius III, dan merupakan Perang Salib pertama yang dipimpin oleh raja-raja Eropa, seperti Louis VII dari Perancis dan Conrad III dari Jerman, dengan bantuan dari bangsawan-bangsawan Eropa penting lainnya. Pasukan-pasukan kedua raja tersebut bergerak menyeberangi Eropa secara terpisah dan sedikit terhalang oleh kaisar Romawi Timur, Manuel I Comnenus. Setelah melewati Bizantium dan memasuki Anatolia, pasukan-pasukan kedua raja tersebut dikalahkan oleh tentara Seljuk. Louis, Conrad, dan sisa dari pasukannya berhasil mencapai Yerusalem dan melancarkan serangan yang "keliru" ke Damaskus pada tahun 1148. Perang Salib di Timur mencapai kemenangan. Kegagalan ini memicu jatuhnya kota Yerusalem dan Perang Salib Ketiga pada akhir abad ke-12.
Tentara salib yang mampu menggapai kemenangan adalah gabungan tentara salib Flandria, Frisia, Normandia, Inggris, Skotlandia, dan Jerman. Mereka berlayar menuju Tanah Suci. Di tengah perjalanan, tentara tersebut berhenti dan membantu bangsa Portugis merebut Lisboa tahun 1147. Sementara itu, Perang Salib Utara dikobarkan sebagai upaya untuk mengubah orang-orang yang menganut paganisme menjadi beriman Kristen, dan mereka harus berjuang selama berabad-abad.

Latar belakang

Setelah meletusnya Perang Salib Pertama dan Perang Salib 1101, ada tiga negara tentara salib yang didirikan di timur, yaitu Kerajaan Yerusalem, Kepangeranan Antiokhia, dan County Edessa. County Tripoli didirikan pada tahun 1109. Edessa adalah negara yang secara geografis terletak paling utara dari keempat negara ini, dan juga merupakan negara yang paling lemah serta hanya memiliki sedikit penduduk. Maka dari itu, daerah ini sering diserang oleh negara-negara Muslim seperti Ortoqid, Danishmend, dan Seljuk. Baldwin II dan Joscelin dari Courtenay ditangkap akibat kekalahan mereka dalam Pertempuran Harran tahun 1104. Baldwin dan Joscelin ditangkap kedua kalinya pada tahun 1122, dan meskipun Edessa kembali pulih setelah Pertempuran Azaz pada tahun 1125, Joscelin tewas dalam pertempuran pada tahun 1131. Penerusnya, Joscelin II, terpaksa bersekutu dengan kekaisaran Romawi Timur, namun, pada tahun 1143, Kaisar Romawi Timur, John II Comnenus dan Raja Yerusalem Fulk dari Anjou, meninggal dunia. Joscelin juga bertengkar dengan Count Tripoli dan Pangeran Antiokhia, sehingga Edessa tidak memiliki sekutu yang kuat.
Sementara itu, Zengi, seorang Atabeg dari Mosul, merebut Aleppo pada tahun 1128. Aleppo merupakan kunci kekuatan di Suriah. Baik Zengi maupun raja Baldwin II mengalihkan perhatian mereka ke arah Damaskus. Sayangnya, Baldwin dapat ditaklukan di luar kota tersebut pada tahun 1129. Damaskus yang dikuasai oleh Dinasti Burid, selanjutnya bersekutu dengan raja Fulk ketika Zengi mengepung kota Damaskus pada tahun 1139 dan tahun 1140.[3]
Pada akhir tahun 1144, Joscelin II bersekutu dengan Ortoqid dan menyerang Edessa dengan hampir seluruh pasukannya untuk membantu Ortoqid melawan Aleppo. Zengi, yang hendak mengambil kesempatan atas kematian Fulk tahun 1143, dengan cepat bergerak ke utara untuk mengepung Edessa, yang akhirnya jatuh ke tangannya setelah sebulan pada tanggal 24 Desember 1144. Manasses dari Hierges, Philip dari Milly dan lainnya dikirim dari Yerusalem untuk membantu, tetapi mereka sudah terlambat. Joscelin II terus menguasai sisa wilayah Edessa dari Turbessel, tetapi sedikit demi sedikit sisa daerah tersebut direbut atau dijual kepada Bizantium. Zengi sendiri dipuji sebagai "pelindung kepercayaan" dan al-Malik al-Mansur, "raja yang berjaya". Ia tidak menyerang sisa teritori Edessa, atau kerajaan Antiokhia. Peristiwa di Mosul memaksanya untuk pulang, dan ia sekali lagi mengalihkan perhatiannya pada Damaskus, namun ia dibunuh oleh seorang budak pada tahun 1146 dan digantikan oleh anaknya, Nuruddin.[4] Joscelin berusaha untuk merebut kembali Edessa dengan terbunuhnya Zengi, tapi Nuruddin dapat mengalahkannya pada November 1146.

[sunting] Reaksi dari Barat

Berita jatuhnya Edessa dikabarkan oleh para peziarah pada awal tahun 1145, lalu kemudian oleh duta besar dari Antiokhia, Yerusalem dan Armenia. Uskup Hugh dari Jabala melaporkan berita ini kepada Paus Eugenius III, yang mengeluarkan bula kepausan quantum praedecessores pada tanggal 1 Desember 1145 yang memerintahkan dilaksanakannya Perang Salib Kedua. Hugh juga memberitahu Paus bahwa seorang raja Kristen timur diharapkan akan memberi pertolongan kepada negara-negara tentara salib.
Perang salib yang baru diharapkan akan lebih teratur daripada Perang Salib Pertama. Apalagi, tentara salib akan dipimpin oleh raja-raja terkuat dari Eropa. Sayangnya, paus hanya mendapat sedikit tanggapan. Louis VII dari Perancis telah memikirkan ekspedisi baru tanpa campur tangan Paus. Ia telah mengumumkan hal itu pada istanannya di Bourges tahun 1145. Saat ini masih diperdebatkan, apakah Louis merencanakan perang salibnya sendiri, atau ia hendak memenuhi janjinya kepada saudaranya, Phillip, bahwa ia akan pergi ke Tanah Suci. Mungkin Louis menghendaki pilihan bebasnya setelah mendengar tentang quantum praedecessores. Sayangnya, Kepala Biara Suger dan bangsawan lainnya tidak senang dengan rencana Louis, karena ia akan pergi dari kerajaan selama beberapa tahun. Louis berkonsultasi dengan Bernardus dari Clairvaux, yang menyuruhnya menemui Eugenius. Kini Louis pasti telah mendengar tentang bula kepausan, dan Eugenius dengan penuh semangat mendukung perang salib Louis. Bula kepausan dikeluarkan kembali pada tanggal 1 Maret 1146, dan Paus Eugenius memberikan kekuasaan kepada Bernardus untuk berkhotbah di Perancis.[5]

[sunting] Bernardus dari Clairvaux

Santo Bernardus dari Clairvaux.
Paus memerintahkan Bernardus untuk mengkhotbahkan Perang Salib Kedua dan memberikan indulgensi sebagaimana yang diberikan oleh Paus Urbanus II untuk Perang Salib Pertama.[6] Parlemen dihimpunkan di Vézelay, Burgundia tahun 1146, dan Bernardus berkhotbah dihadapan dewan pada 31 Maret. Louis VII dari Perancis, istri Louis Aliénor dari Aquitania, pangeran dan pemimpin-pemimpin hadir dan bersujud dibawah kaki Bernardus untuk menerima salib peziarah. Conrad III dari Jerman dan keponakannya Frederick Barbarossa, menerima salib dari tangan Bernardus.[7] Paus Eugenius sendiri datang ke Perancis untuk menyemangati. Bernardus kemudian pergi ke Jerman.
Walaupun semangatnya meluap-luap, namun pada dasarnya Bernardus bukanlah seorang fanatik maupun penganiaya. Seperti pada Perang Salib Pertama, khotbahnya dengan tidak sengaja menyebabkan serangan terhadap orang Yahudi. Pendeta fanatik Perancis yang bernama Rudolf telah menyebabkan pembantaian Yahudi di Rhineland, Cologne, Mainz, Worms, dan Speyer. Rudolf menyatakan Yahudi tidak membantu secara finansial untuk menyelamatkan Tanah Suci. Bernardus menentang serangan tersebut dan berkelana dari Flandria ke Jerman untuk menyelesaikan masalah dan menenangkan massa. Bernardus lalu bertemu Rudolf di Mainz dan berhasil membuatnya diam, lalu mengembalikannya ke biara.[8]

[sunting] Perang salib Wend

Ketika Perang Salib Kedua diserukan, banyak orang Jerman Selatan yang menjadi sukarelawan perang. Orang-orang Sachsen di Jerman Utara merasa enggan. Pada pertemuan Reichstag di Frankfurt tanggal 13 Maret 1147, mereka memberitahu Santo Bernardus bahwa mereka lebih ingin berperang melawan bangsa Slavia. Paus Eugenius menerima rencana Sachsen dan mengeluarkan bula kepausan divina dispensatione pada 13 April. Bula Kepausan ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan nilai spiritual yang didapat dalam masing-masing perang salib. Orang yang menjadi sukarelawan melawan bangsa Slavia adalah bangsa Denmark, Sachsen, dan Polandia,[9] dan juga terdapat bangsa Bohemia.[10] Wakil Paus, Anselm dari Havelberg, diberi wewenang untuk memegang kekuasaan secara keseluruhan. Kampanye militer itu sendiri dipimpin oleh keluarga-keluarga Sachsen seperti Ascania, Wettin, dan Schauenburg.[11]
Kecewa dengan parsitipasi Jerman dalam perang salib, Obotrit menyerang Wagria pada Juni 1147, sehingga tentara salib mulai bergerak pada akhir musim panas tahun 1147. Setelah mengusir Obotrit dari wilayah Kristen, tentara salib menyerang benteng Obotrit di Dobin dan benteng bangsa Liutizia di Demmin. Ketika beberapa tentara salib menganjurkan untuk menghancurkan wilayah di luar kota, beberapa lainnya menolak, dan bertanya, "apakah itu bukan tanah kita sehingga kita hendak menghancurkannya, dan apakah mereka bukan bangsa kita sehingga kita hendak bertempur melawan mereka?"[12] Pasukan Sachsen dibawah Henry si Singa mundur setelah kepala kaum pagan Niklot setuju untuk membaptis garnisun Dobin. Setelah pengepungan Demmin gagal, kontingen tentara salib dialihkan untuk menyerang Pomerania. Mereka telah mencapai kota Kristen Stettin, lalu tentara salib dibubarkan setelah bertemu dengan Uskup Albert dari Pomerania dan Pangeran Ratibor I dari Pomerania.
Menurut Bernardus dari Clairvaux, tujuan perang salib ini adalah untuk melawan Slavia pagan "hingga pada saatnya nanti, dengan pertolongan Tuhan, entah mereka akan berpindah agama atau disingkirkan."[13] Sayangnya, tentara salib gagal mengganti agama orang-orang Wend. Orang-orang Sachsen mendapati kaum Slavia di Dobin berbondong-bondong kembali ke kepercayaan pagan mereka ketika tentara Kristen dibubarkan. Albert dari Pomerania menjelaskan, "jika mereka ingin agar Kekristenan mengakar kuat ... yang harus mereka lakukan adalah menyebarkannya melalui pengajaran, bukan menggunakan senjata."[14]
Pada akhir perang salib, Mecklenburg dan Pomerania mengalami penjarahan dan depopulasi akibat maraknya pertumpahan darah, terutama diakibatkan oleh keganasan tentara Henry si Singa.[15] Akibatnya, penduduk Slavia kehilangan banyak metode produksi, sehingga membatasi perlawanan mereka di masa depan.[16]

[sunting] Reconquista dan jatuhnya Lisboa

Alfonso I dari Portugis
Pada musim semi tahun 1147, Paus mengatur perluasan perang salib ke semenanjung Iberia. Ia memerintahkan Alfonso VII dari León untuk menyamakan kampanyenya melawan Moor dengan Perang Salib Kedua.[17] Pada Mei 1147, kontingen tentara salib pertama meninggalkan Dartmouth di Inggris menuju Tanah Suci. Cuaca buruk memaksa kapal mereka berhenti di kota Porto pada 16 Juni 1147. Di sana mereka dibujuk untuk bertemu dengan Afonso I dari Portugal.[18]
Tentara salib setuju untuk membantu Afonso menyerang Lisboa. Pengepungan Lisboa berlangsung dari 1 Juli hingga 25 Oktober 1147. Pada 25 Oktober, penguasa Moor menyerah, terutama karena kelaparan. Kebanyakan tentara salib menetap di kota yang baru direbut, tetapi beberapa dari mereka berlayar dan meneruskan perjalanan ke Tanah Suci.[18] Beberapa di antara mereka, yang telah berangkat lebih awal, membantu merebut Santarém pada tahun yang sama. Mereka juga membantu menguasai Sintra, Almada, Palmela dan Setúbal, dan dipersilakan untuk tinggal di tanah yang telah ditaklukan. Selanjutnya mereka mulai menghasilkan keturunan.
Di tempat lain di semenanjung Iberia pada waktu yang hampir sama, Alfonso VII of León, Ramon Berenguer IV, dan lainnya, memimpin tentara salib Catalunya dan Perancis melawan kota pelabuhan Almería yang kaya. Dengan dukungan dari angkatan laut Genova-Pisa, kota ini berhasil diduduki pada Oktober 1147.[19] Ramon Berenger lalu menyerang wilayah Taifa Murabitun di Valencia dan Murcia. Pada Desember 1148, ia merebut Tortosa setelah pengepungan selama lima bulan dengan bantuan tentara salib Perancis dan Genova.[19] Satu tahun kemudian, Fraga, Lleida dan Mequinenza jatuh ke tangan pasukannya.[20]

[sunting] Perang Salib di Timur

Joscelin mencoba merebut kembali Edessa setelah pembunuhan Zengi, tetapi Nuruddin menaklukannya pada November 1146. Pada 16 Februari 1147, tentara salib Perancis bertemu di Étampes untuk mendiskusikan rute mereka. Jerman memilih untuk melewati Hongaria karena Roger II, Raja Sisilia, adalah musuh Conrad dan rute laut secara politis tidak praktis. Banyak bangsawan Perancis tidak mempercayai jalur yang akan membawa mereka melalui Kekaisaran Romawi Timur tersebut, yang memiliki sejarah buruk pada masa Perang Salib Pertama. Meskipun demikian, akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti Conrad, dan direncanakan berangkat pada 15 Juni. Roger II merasa tersinggung dan menolak berpartisipasi lebih lanjut. Di Perancis, Kepala Biara Suger dan William II dari Nevers terpilih sebagai wali raja sementara raja pergi mengikuti perang salib. Di Jerman, pengkhotbahan lebih lanjut dikumandangkan oleh Adam dari Ebrach dan Otto dari Freising. Pada 13 Maret di Frankfurt, putra Conrad, Frederick, terpilih sebagai raja dibawah perwakilan Henry, Uskup kepala Mainz. Jerman berencana pergi ke Tanah Suci pada hari Paskah, tetapi mereka tidak berangkat sampai bulan Mei.[21]

[sunting] Rute Jerman

Tentara salib Jerman, tediri dari Franconia, Bayern, dan Swabia, meninggalkan tanah air mereka pada Mei 1147. Ottokar III dari Styria bergabung dengan Conrad di Wina, dan musuh Conrad, Geza II dari Hongaria, akhirnya membiarkan mereka lewat. Ketika 20.000 pasukan Jerman tiba di wilayah Bizantium, Manuel takut mereka akan menyerang Bizantium, dan pasukan Romawi Timur ditugaskan untuk memastikan agar tidak terjadi masalah apapun. Pertempuran-pertempuran kecil dengan beberapa orang Jerman yang tidak mau menurut meletus di dekat Philippopolis dan di Adrianopel, tempat jendral Bizantium, Prosouch, bertempur dengan keponakan Conrad, yang nantinya akan menjadi kaisar, Frederick. Lebih buruk lagi, beberapa pasukan Jerman tewas karena banjir pada awal bulan September. Pada 10 September, mereka tiba di Konstantinopel. Hubungan dengan Manuel kurang baik dan orang Jerman diminta untuk menyeberang ke Asia Kecil secepat mungkin. Manuel ingin Conrad meninggalkan beberapa pasukannya di belakang untuk membantunya bertahan melawan serangan Roger II, yang telah mengambil kesempatan untuk untuk merebut kota-kota di Yunani, tetapi Conrad menolak, walaupun ia adalah musuh dari Roger.[22]
Kaisar Frederick I, adipati Swabia selama Perang Salib Kedua
Di Asia Kecil, Conrad memilih untuk tidak menunggu pasukan Perancis, dan maju menyerang Iconium, ibukota Kesultanan Rum. Conrad memisahkan pasukannya menjadi 2 divisi. Conrad memimpin salah satu 1 divisi, yang hampir dihancurkan oleh Seljuk pada 25 Oktober 1147 dalam Pertempuran Dorylaeum Kedua.[23]
Turki Seljuk menggunakan taktiknya. Mereka berpura-pura mundur, lalu menyerang kavaleri kecil Jerman yang terpisah dari pasukan utama karena mengejar mereka. Conrad mulai mundur pelan-pelan ke Konstantinopel, dan pasukannya diganggu setiap hari oleh Turki Seljuk, yang menyerang dan menaklukan penjaga depan. Bahkan Conrad terluka saat bertempur dengan mereka. Divisi yang lain, dipimpin oleh Otto dari Freising, maju ke selatan pantai Mediterania dan dapat ditaklukan pada awal tahun 1148.[24]

[sunting] Rute Perancis

Lukisan Dinding Kaisar Manuel I
Tentara salib Perancis berangkat dari Metz pada bulan Juni 1147, dipimpin oleh Louis, Thierry dari Elsas, Renaut I dari Bar, Amadeus III dari Savoy dan saudaranya William V dari Montferrat, William VII dari Auvergne, dan lain-lain, bersama dengan pasukan Lorraine, Bretagne, Burgundi, dan Aquitaine. Pasukan dari Provence, dipimpin oleh Alphonse dari Tolosa, memilih untuk menunggu sampai bulan Agustus. Di Worms, Louis bergabung dengan tentara salib dari Normandia dan Inggris. Mereka mengikuti rute Conrad dengan damai, meskipun Louis datang dalam konflik dengan Geza dari Hongaria sat Geza menemukan Louis telah mempersilakan orang Hongaria untuk bergabung dengan pasukannya.[25]
Sejak negosiasi awal di antara Louis dan Manuel, Manuel telah menghentikan kampanye militer melawan Kesultanan Rüm dan menandatangani gencatan senjata dengan Mas'ud. Hal ini dilakukan sehingga Manuel dapat memusatkan perhatiannya pada pertahanan kekaisarannya dari tentara salib, yang memiliki reputasi buruk akibat pencurian dan pengkhianatan sejak Perang Salib Pertama. Mereka dituduh melakukan hal yang jahat di Konstantinopel. Hubungan Manuel dengan pasukan Perancis lebih baik daripada dengan orang Jerman. Beberapa orang Perancis marah karena gencatan senjata Manuel dengan Seljuk dan melakukan penyerangan di Konstantinopel, tapi mereka dapat dikendalikan oleh Louis.[26]
Ketika pasukan dari Savoy, Auvergne, dan Montferrat bergabung dengan Louis di Konstantinopel dengan melewati Italia dan menyeberang dari Brindisi menuju Durres, seluruh pasukan mereka menyeberangi Bosporus menuju Asia Kecil melalui kapal. Mereka disemangati oleh rumor bahwa Jerman telah merebut Iconium, tetapi Manuel menolak memberi Louis bantuan tentara Bizantium. Bizantium baru saja diserang oleh Roger II dari Sisilia, dan seluruh pasukan Manuel dibutuhkan di Balkan. Baik Jerman dan Perancis memasuki Asia tanpa bantuan Bizantium, tidak seperti pada Perang Salib Pertama. Dalam tradisi yang dibuat oleh kakek dari Manuel, Alexios I, Manuel menyuruh orang Perancis untuk menyerahkan wilayah manapun yang direbutnya kepada Romawi Timur.[27]
Pasukan Perancis bertemu sisa pasukan Conrad di Nicea, dan Conrad bergabung dengan pasukan Louis. Mereka mengikuti rute Otto dari Freising, dan tiba di Efesus pada bulan Desember. Di situ, mereka menyadari bahwa Turki Seljuk mempersiapkan serangan terhadap mereka. Sementara itu, Manuel mengirim utusan yang menyatakan keluhan mengenai penjarahan dan perampasan yang dilakukan oleh Louis, dan tidak ada jaminan bahwa Bizantium akan membantu mereka melawan Turki Seljuk. Setelah itu, Conrad jatuh sakit dan kembali ke Konstantinopel. Louis tidak mendengarkan peringatan mengenai serangan Seljuk dan lalu bergerak keluar Efesus. Seljuk menunggu menyerang, tapi dalam pertempuran kecil diluar Efesus, pasukan Perancis berhasil memenangkan pertempuran.[28]
Mereka mencapai Laodicea pada Januari 1148, hampir pada waktu yang sama ketika Otto dari Freising dihancurkan di tempat yang sama.[29] Perjalanan pun tetap dilanjutkan. Barisan depan dibawah pimpinan Amadeus dari Savoy terpisah dari pasukan di Gunung Cadmus, sementara pasukan Louis mengalami kekalahan. Pasukan Turki tidak mengganggu dengan menyerang lebih lanjut dan pasukan Perancis bergerak menuju Adalia. Adalia telah dihancurkan oleh Seljuk, dan juga dibakar agar pasukan Perancis tidak mendapat makanan. Louis tidak lagi ingin melalui jalur darat, dan memilih untuk mengumpulkan armada di Adalia dan berlayar ke Antiokhia.[23] Setelah terlambat selama 1 bulan karena badai, hampir semua kapal yang dijanjikan tidak tiba. Louis dan koleganya mengambil kapal untuk diri mereka sendiri, sementara sisa pasukan harus melanjutkan perjalanan yang jauh ke Antiokhia. Pasukan itu hancur, baik karena serangan Turki maupun karena sakit.[30]

[sunting] Perjalanan menuju Yerusalem

Raymond dari Poitiers menyambut Louis VII di Antiokhia.
Louis tiba di Antiokhia pada tanggal 19 Maret, setelah terlambat akibat badai. Amadeus dari Savoy meninggal di Siprus selama perjalanan. Louis disambut oleh paman Aliénor, Raymond. Raymond mengharapkan ia membantunya bertahan melawan Seljuk dan menemaninya dalam ekspedisi melawan Aleppo, tetapi Louis menolak. Ia lebih memilih untuk menyelesaikan peziarahannya di Yerusalem daripada memusatkan perhatian pada aspek militer perang salib.[31] Raymond ingin agar Aliénor, istri Louis, tetap berada di belakang dan menceraikan Louis jika ia menolak membantunya. Louis segera meninggalkan Antiokhia menuju County Tripoli, meninggalkan Aliénor. Sementara itu, Otto dari Freising dan sisa pasukannya tiba di Jerusalam pada awal bulan April, setelah itu Conrad segera sampai.[32] Fulk, Patriark Yerusalem, dikirim untuk mengundang Louis bergabung dengan mereka. Armada yang berhenti di Lisboa tiba, dan juga Provencal dibawah komando Aphonse dari Tolosa. Alphonse sendiri tewas dalam perjalanan menuju Yerusalem karena diracuni oleh Raymond II dari Tripoli, keponakannya yang takut akan aspirasi politiknya di Tripoli. Target utama tentara salib adalah Edessa, tetapi target yang lebih diutamakan oleh Raja Baldwin III dan Ordo Bait Allah adalah Damaskus.[31]

[sunting] Konsili Akko

Bangsawan Yerusalem menyambut datangnya pasukan dari Eropa, dan diumumkan bahwa konsili harus dihimpunkan untuk menentukan target terbaik tentara salib. Pertemuan berlangsung pada tanggal 24 Juni 1148. Dewan Haute Cour bertemu dengan tentara salib dari Eropa di Palmarea, dekat kota Akko (kota utama di Kerajaan Yerusalem). Baik Louis maupun Conrad dibujuk untuk menyerang Damaskus.[33]
Beberapa bangsawan (baron) Yerusalem menyatakan bahwa menyerang Damaskus adalah tindakan yang tidak bijaksana, karena Dinasti Burid di Damaskus, meskipun Muslim, adalah sekutu mereka melawan dinasti Zengid. Conrad, Louis, dan Baldwin bersikeras bahwa Damaskus adalah kota suci untuk Kekristenan. Seperti Yerusalem dan Antiokhia, Damaskus akan menjadi hadiah yang patut diperhitungkan di mata Kristen Eropa. Pada bulan Juli, pasukan mereka dikumpulkan di Tiberias dan bergerak menuju Damaskus. Mereka berjumlah 50.000 tentara.[34]

[sunting] Pengepungan Damaskus

1099jerusalem.jpg
Seri Perang Salib
Perang Salib Pertama
Perang Salib Rakyat
Perang Salib Jerman, 1096
Perang Salib 1101
Perang Salib Kedua
Perang Salib Ketiga
Perang Salib Keempat
Perang Salib Albigensian
Perang Salib Anak-anak
Perang Salib Kelima
Perang Salib Keenam
Perang Salib Ketujuh
Perang Salib Gembala
Perang Salib Kedelapan
Perang Salib Kesembilan
Perang Salib Utara
Tentara salib memilih untuk menyerang Damaskus dari barat, tempat berdirinya kebun buah yang akan memberi mereka makanan.[33] Mereka tiba pada tanggal 23 Juli. Pasukan Muslim sudah siap untuk serangan tersebut dan langsung menyerang pasukan yang bergerak melalui perkebunan diluar Damaskus. Damaskus meminta bantuan dari Saifuddin Ghazi I dari Aleppo dan Nuruddin Zengi dari Mosul. Damaskus lalu menyerang perkemahan tentara salib. Tentara salib dapat dipukul mundur dari tembok ke perkebunan. Di sana mereka rentan terhadap serangan gerilya.[31]
Menurut William dari Tirus, pada 27 Juli, tentara salib memilih untuk bergerak ke bagian timur, yang lebih sedikit pertahanannya, tetapi lebih kurang lagi persediaan makanan dan airnya.[33] Nuruddin dan Saifuddin telah tiba. Dengan hadirnya Nuruddin di lapangan, sangatlah tidak mungkin bagi tentara salib untuk kembali ke posisi mereka yang lebih baik.[31] Pemimpin tentara salib lokal menolak untuk meneruskan pengepungan, dan ketiga raja tidak memiliki pilihan selain meninggalkan kota.[33] Conrad, lalu sisa pasukan, memilih untuk mundur kembali ke Yerusalem pada 28 Juli. Ketika mundur, mereka diikuti oleh pemanah Turki yang terus menerus menyerang mereka.[35]

Perang Salib Pertama

Perang Salib Pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urban II untuk merebut serta membebaskan tanah kota suci Yerusalem yang juga merupakan tanah suci bagi umat Kristen dari umat Muslim yang pada saat itu terdapat perkembangan dan banyak kunjungan yang dilakukan oleh terutama para pedagang juga ulama muslim kaum seljuk Turki. perang salib pertama adalah tidak lebih dari suara - suara yang dilebih - lebihkan dari para ulama kristen yang diakibatkan oleh gangguan yang dilakukan oleh segelintir pedagang kaum seljuk Turki juga bukan mengatasnamakan agama yang dilakukan pada jalur perdagangan kaum kristiani. Keberangkatan atau migrasi dari pasukan salib pertama ini berubah dari misi atau tugas yang diberikan yaitu untuk melindungi dan merekonsiliasi antara tiga umat beragama disana menjadi sebuah usaha penaklukan,pembantaian terhadap umat non kristen dan yahudi serta penguasaan keseluruhan wilayah Yerusalem.
Baik ksatria dan orang awam dari banyak negara di Eropa Barat, dengan sedikit pimpinan terpusat, berjalan melalui tanah dan laut menuju Yerusalem dan menguasai kota tersebut pada Juli 1099, serta mendirikan Kerajaan Yerusalem atau kerajaan Latin di Yerusalem. Meskipun penguasaan ini hanya berakhir kurang dari dua ratus tahun, Perang salib merupakan titik balik penguasaan dunia Barat, dan satu-satunya yang berhasil meraih tujuannya.

Latar belakang

Pengepungan Antioch, dari lukisan miniatur abad pertengahan selama Perang Salib Pertama.
Meskipun menjelang abad kesebelas sebagian besar Eropa memeluk agama Kristen secara formal — setiap anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada untuk menempatkan setiap orang percaya di bawah bimbingan pastoral, pernikahan dilangsungkan di Gereja, dan orang yang sekarat menerima ritual gereja terakhir.
Pada tahun 1088, seorang Perancis bernama Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu ditandai dengan pertikaian raja Jerman, Henry IV — kelanjutan kebijakan pembaruan oleh Paus Gregorius VIII yang tidak menghasilkan apa-apa. Paus yang baru ini tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Tetapi ia ingin menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar Alexis dari Konstantinopel meminta bantuan Paus melawan orang-orang Muslim Turki, Urbanus melihat bahwa adanya musuh bersama ini akan membantu mencapai tujuannya.
Tidak masalah meskipun Paus telah mengucilkan patriark Konstantinopel, dan Kristen Ortodoks Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan untuk menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi para pangeran Barat yang bertengkar terus.
Pada tahun 1095 Urbanus mengadakan Konsili Clermont. Di sana ia menyampaikan kotbahnya yang bertujuan untuk menggerakkan bahkan membakar walaupun pada faktanya kabar itu tidak benar dan bersifat propaganda untuk menimbulkan kebencian terhadap umat muslim kabar itu ialah : "Telah tersebar sebuah cerita mengerikan ... sebuah golongan terkutuk yang sama sekali diasingkan Allah ... telah menyerang tanah (negara) orang Kristen dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia berseru: "Pisahkanlah daerah itu dari tangan bangsa yang jahat itu dan jadikanlah ia sebagai milikmu." inilah perkataan yang dianggap sebuah momentum pergerakan kaum kristiani eropa dan juga sebuah pencapaian yang luar biasa dari Urbanus untuk dapat menguasai timur yang gerbangnya ialah yerusalem tanah suci bagi tiga agama dan kaum yaitu yahudi,kristiani dan muslim.
"Deus vult! Deus vult! (Allah menghendakinya)," teriak para peserta. Ungkapan itu telah menjadi slogan perang pasukan Perang Salib. Ketika para utusan Paus melintasi Eropa, merekrut para ksatria untuk pergi ke Palestina dengan menggunakan kata-kata propaganda pemimpin mereka, mereka mendapatkan respons antusias dari pejuang-pejuang eropa terutama Perancis dan Italia. Banyak di antaranya tersentak dan terbakar karena tujuan agamawi, tetapi tidak diragukan juga bahwa yang lain berangkat juga untuk keuntungan ekonomi. Ada juga yang ingin berpetualang merampas kembali tanah peziarahan di Palestina, yang telah jatuh ke tangan kaum Muslim.
Untuk mendorong tentara Perang Salib, Urbanus dan para paus yang mengikutinya menekankan "keuntungan" spiritual dari perang melawan orang-orang Muslim itu. Dari sebuah halaman Bible, Urbanus meyakinkan para pejuang itu bahwa dengan melakukan perbuatan ini, mereka akan langsung masuk surga, atau sekurang-kurangnya dapat memperpendek waktu di api penyuciankata mereka kaum ulama eropa kalau tujuannya benar tetapi ada niat terselubung yang memang kaum eropa ingin lakukan dari zaman Alexander the great sampai zaman imperium roma yaitu penaklukan daerah timur.
Dalam perjalanannya menuju tanah suci, para tentara Perang Salib berhenti di Konstantinopel. Selama mereka ada di sana, hanya satu hal yang ditunjukkan: Persatuan antara Timur dan Barat masih mustahil. Sang kaisar melihat para prajurit yang berpakaian besi itu sebagai ancaman bagi takhtanya. Ketika para tentara Perang Salib mengetahui bahwa Alexis telah membuat perjanjian dengan orang-orang Turki, mereka merasakan bahwa "pengkhianat" ini telah menggagalkan bagian pertama misi mereka: menghalau orang-orang Turki dari Konstantinopel.
Dengan bekal dari sang kaisar, pasukan tersebut melanjutkan perjalanannya ke selatan dan timur, menduduki kota-kota Antiokhia dan Yerusalem. Banjir darah dan pembantaian terhadap kaum muslim mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik para tentara Perang Salib ialah "tidak membawa tawanan" yang kita semua tahu bahwa sebab berhasilnya perang salib I ini adalah ketidaktahuan para umat baik itu muslim, kristen dan yahudi di yerusalem bahwa mereka datang untuk menyerang karena itulah para muslim tidak menyiagakan pasukannya dan memang yang pada waktu itu yerusalem bukan daerah kekuasaan atau jajahan kekaisaran muslim, biadabnya lagi yang mereka bantai adalah para penduduk dan pedagang muslim yang sudah menyerah,inilah yang menyebabkan kebencian umat islam. Seorang pengamat yang merestui tindakan biadab tersebut menulis bahwa para prajurit "menunggang kuda mereka dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang kuda".dan memang kaum kristiani eropa cenderung menutupi kejadian ini dan yang semacam ini, demi nama baik mereka, tidak seperti pembantaian kaum yahudi yang selalu mereka gembar-gemborkan.
Setelah mendirikan kerajaan Latin di Yerusalem, dan dengan mengangkat Godfrey dari Bouillon sebagai penguasanya, mereka berubah sikap, dari penyerangan ke pertahanan yang dikarenakan para kaum muslim telah tersadar dan mengirimkan bala tentaranya Mereka kaum kristiani eropa mulai membangun benteng-benteng baru, yang hingga kini, sebagian darinya masih terlihat.
Pada tahun-tahun berikutnya, terbentuklah ordo-ordo baru yang bersifat setengah militer dan setengah keagamaan. Ordo paling terkenal adalah Ordo Bait Allah (bahasa Inggris: Knights Templars) dan Ordo Rumah Sakit (bahasa Inggris: Knights Hospitalers). Meskipun pada awalnya dibentuk untuk membantu para tentara Perang Salib, mereka menjadi organisasi militer yang tangguh dan berdiri sendiri.
Perang Salib pertama merupakan yang paling sukses. Meskipun agak dramatis dan bersemangat, berbagai upaya kemiliteran ini tidak menahan orang-orang Muslim secara efektif.

Perang Goth (535–554)

Perang Goth
Bagian dari Perang penaklukan kembali Justinianus I
Gotenkrieg.png
Tanggal 535554
Lokasi Italia dan Dalmatia
Hasil Kemenangan Bizantium
Perubahan wilayah Italia dan Dalmatia direbut
Pihak yang terlibat
Kekaisaran Bizantium Ostrogoth,
Franka
Komandan
Belisarius,
Mundus,
Narses,
Germanus,
Liberius
Theodahad,
Vitiges,
Ildibad,
Totila,
Teia
Jumlah korban


Lebih dari 5.000.000 tewas akibat pertempuran, penyakit, dan kelaparan
Perang Goth adalah peperangan yang berlangsung di Italia dan wilayah-wilayah di sekitarnya seperti Dalmatia, Sardinia, Sisilia, dan Korsika mulai tahun 535 sampai tahun 554 antara pasukan Kekaisaran Romawi Timur dan pasukan Kerajaan Ostrogoth. Secara umum, perang ini dibagi menjadi dua fase. Fase pertama (535-540) berakhir dengan jatuhnya Ravenna dan penaklukan Italia oleh pasukan Bizantium, sementara fase kedua (540/541-553) berciri perlawanan bangsa Goth yang dikobarkan kembali oleh Totila. Perlawanan tersebut baru bisa ditundukkan setelah peperangan panjang yang dilancarkan oleh Narses, yang juga berhasil menggagalkan invasi Franka-Alamanni pada tahun 554. Kendati demikian, kota-kota di Italia Utara masih melanjutkan perlawanan sampai awal tahun 560-an.
Perang ini diawali oleh ambisi Kaisar Justinianus untuk merebut kembali provinsi-provinsi wilayah Kekaisaran Romawi Barat yang lepas akibat invasi suku-suku barbar pada awal abad sebelumnya (lihat juga Masa Migrasi). Durasi peperangan yang cukup lama mengakibatkan kehancuran Italia dan penurunan populasi Italia dari 7 juta jiwa menjadi 2,5 juta jiwa sebagai akibat dari peperangan, kelaparan, dan wabah penyakit. Selain itu, kekayaan Kekaisaran Bizantium juga berkurang. Akibatnya, Bizantium tidak dapat bertahan dari serbuan bangsa Lombardia pada tahun 568, yang mengakibatkan lepasnya sebagian besar daerah Italia.

Latar belakang

[sunting] Italia di bawah kekuasaan Goth

Pada tahun 476, Kekaisaran Romawi Barat digulingkan ketika Odoaker menggulingkan Kaisar Romulus Augustulus dan menobatkan dirinya sendiri sebagai Rex Italiae ("Raja Italia"). Meskipun ia mengakui kekuasaan dari Kaisar Bizantium, Zeno, kebijakannya mengenai kemerdekaan dan peningkatan kekuatannya membuat Kerajaan Ostrogoth menjadi ancaman di mata Konstantinopel. Pada masa ini, Ostrogoth, di bawah kepemimpinan Theodoric, selain hidup sebagai foederati dari kekaisaran di wilayah Balkan Barat juga mulai menumbuhkan bibit-bibit pemberontakan. Zeno memutuskan untuk "membunuh dua burung dengan satu batu", dengan mengirim kaum Ostrogoth ke Italia untuk menggulingkan Odoaker, dan Italiapun menjadi wilayah kekuasaan Goth. Walaupun demikian, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya dengan Theodoric, Zeno dan penerusnya Anastasius I, wilayah Italia dan penduduknya dianggap sebagai bagian dari Kekaisaran Bizantium, sedangkan Theodoric hanya berfungsi sebagai perwakilan kerajaan (viceroy) sekaligus kepala urusan militer (magister militum).[1] Kesepakatan ini sudah diteliti oleh Theodoric: administrasi tetap berjalan seperti biasa dan hanya dijalankan secara eksklusif oleh warga negara Romawi, dan legislasi tetap menjadi hak prerogatif Kaisar.[2] Di saat yang sama, angkatan bersenjata tetap dikhususkan bagi orang-orang Goth, yang dikepalai oleh kepala-kepala suku mereka sendiri, lengkap dengan pengadilannya sendiri.[3] Kedua suku ini lebih jauh dipisahkan oleh agama: populasi Romawi menganut aliran Khalsedon, sedangkat orang-orang Goth menganut aliran Arian, meskipun demikian, tidak seperti suku Vandal atau angkatan Visigoth awal, toleransi beragama telah dijalankan.[4] Dual System yang rumit ini berjalan dengan efektif di bawah kepemimpinan Theodoric yang kuat, yang mengetahui bagaimana cara menjalankan kebijakan sendiri, tanpa mengasingkan aristokrat-aristokrat Romawi. Namun, sistem ini mulai terpecah belah pada tahun-tahun akhir kekuasaannya dan runtuh sepenuhnya di tangan penerus-penerusnya.
Dengan kenaikan Justinianus I, berakhirnya skisma Acacius, dan kembalinya persatuan eklesik dengan Romawi Timur, beberapa anggota aristokrat senat Italia mulai mendekatkan diri dengan kekuasaan Konstantinopel untuk menyeimbangkan dominasi bangsa Goth. Penggulingan dan pembunuhan magister officiorum Boethius dan mertuanya pada tahun 524 merupakan salah satu gejala dari dimulainya pengasingan kasta mereka dari rezim Goth. Ketika Theodoric mangkat pada Agustus 526, tampuk kekuasaan dilanjutkan oleh cucunya Athalaric. Mengingat bahwa ia masih seorang bayi, kursi tertinggi pemerintahan untuk sementara dipegang oleh ibu Athalaric, Amalasuntha, yang telah mendapatkan pendidikan ala Romawi dan memulai kebijakan rekonsiliasi dengan Senat dan kekaisaran.[5] Kebijakan-kebijakan ini, dan usahanya mendidik Athalarik dengan gaya Romawi, menimbulkan ketidaksenangan di kalangan pemimpin Goth, yang memulai plot-plot keras melawan Amalasuntha. Melihat bahaya ini, Amalasuntha mengeksekusi tiga konspirator, dan pada saat yang sama, menulis surat kepada kaisar baru, Justinianus I, dan meminta suaka politik jika ia terpaksa untuk meninggalkan Italia. Kendati demikian, Amalasuntha tetap menjadi pemimpin Italia,[6] meskipun setelah kematian sang anak pada 534. Dalam mencari dukungan, ia memilih sepupunya Theodahad untuk diangkat sebagai raja. Langkah ini merupakan langkah yang cukup fatal, karena kemudian Theodahad menangkap Amalasuntha dan pada awal tahun 535 mengeksekusinya.[7]

[sunting] Kebijakan dan persiapan Justinianus

Pada tahun 533, dengan memanfaatkan sengketa dinasti, Justinianus mengirim panglimanya yang paling berbakat, Belisarius, untuk mengembalikan provinsi-provinsi Afrika Utara dari tangan suku Vandal. Perang Vandal menghasilkan kemenangan yang cepat dan penting bagi Kekaisaran Bizantium. Selama perang ini, Amalasuntha telah mengizinkan armada Bizantium untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan di Pulau Sisilia, yang dikuasai oleh Kerajaan Ostrogoth, sebagai daerah basis operasi.[8] Lewat agen-agennya, Justinianus berusaha untuk menyelamatkan nyawa Amalasuntha, tetapi gagal. Kematiannya, dalam kondisi apapun, memberikan alasan yang sempurna untuk memulai peperangan. Seperti yang ditulis oleh Procopius: "tak lama setelah ia [Justinianus] mendengar apa yang terjadi pada Amalasuntha, pada tahun kesembilan kekuasaanya, ia memasuki kancah peperangan."[9]
Belisarius diangkat sebagai panglima angkatan bersenjata (‘‘stratēgos avtokratōr‘‘) ekspedisi melawan Italia dengan kekuatan 7,500 tentara, sedangkan Mundus, magister militum per Illyricum, ditugaskan untuk menduduki Dalmatia. Harus diperhatikan disini bahwa kekuatan pasukan pimpinan Belisarius relatif jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan saat ia melawan suku Vandal, musuh yang jauh lebih lemah dibandingkan suku Ostrogoth. Persiapan operasi militer dilaksanakan dalam kerahasiaan penuh, sambil Justinianus mencoba mengamankan netralitas suku Franka dengan memberi mereka hadiah berupa emas.[10]

[sunting] Belisarius melumpuhkan kekuatan bangsa Goth, 535-540

[sunting] Kejatuhan Sisilia dan Dalmatia ke tangan pasukan Romawi

Belisarius pertama-tama mendarat di Sisilia, yang secara strategis terletak di antara Afrika Utara dan Italia. Masyarakat Sisilia sendiri memiliki simpati yang cukup mendalam terhadap kekaisaran Bizantium. Pulau ini segera ditaklukan dengan mudah. Perlawanan diberikan oleh bangsa Goth di Panormus (Palermo sekarang), dan dengan mudah dikalahkan pada akhir bulan Desember. Dari sana, Belisarius mempersiapkan diri untuk menyeberang ke tanah Italia, tempat Theodahad, yang ketakutan melihat keberhasilan Romawi. Theodad sendiri telah mengirim duta-dutanya untuk menemui Justinianus. Dia pada awalnya meawarkan untuk menyerahkan Sisilia dan mengakui kedaulatan Justinianus, namun kemudian tawaran ini dinaikan menjadi seluruh dataran Italia.[11][12] Di saat yang sama, kemenangan dan kekalahan terus-menerus dialami oleh tentara Romawi di Dalmatia. Mundus dengan cepat berhasil menyerbu Dalmatia dan menduduki ibu kotanya, Salona. Namun, sekelompok besar tentara Goth telah datang untuk mengklaim kembali kepemilikannya atas daerah tersebut dan Mauricius, anak dari Mundus, tewas pada saat terjadi kontak senjata dengan tentara Goth. Kendatipun demikian, selama pengejaran tersebut, Mundus sendiri menderita luka serius. Hasilnya, seluruh tentara Romawi menarik diri, dan seluruh daerah Dalmatia, kecuali Salona, ditinggalkan oleh bangsa Goth.[13] Seluruh rangkaian kejadian ini terjadi pada Maret 536, dan Theodahad, belajar dari keberhasilan ini, menjadi percaya diri, dan menolak serta memenjarakan duta besar utusan Justinianus. Segala kemungkinan damai tertutup sekarang. Justinianus kemudian menugaskan Konstantianus sebagai ‘’magister militum per Illyricum’’ yang baru untuk merebut kembali Dalmatia, dan memerintahkan Belisarius untuk menyerbu dataran Italia. Konstantianus dengan cepat menyelesaikan tugasnya. Gripas, jenderal suku Goth, meninggalkan Salona yang baru saja berhasil direbutnya, sebagai akibat dari hancurnya perbentengan kota dan kurangnya dukungan rakyat yang lebih banyak berpihak kepada bangsa Romawi, menuju ke arah utara. Konstantianus kemudian menduduki kota Salona dan membangun kembali benteng pertahanannya. Seminggu kemudian, tentara Goth bergerak menuju Italia, sehingga akhirnya pada akhir Juni, Dalmatia kembali berada di tangan Roma.[14]

[sunting] Witigis naik tahta, pengepungan pertama Roma


Dinding dan gerbang kota Roma pada abad keenam Masehi, juga diperlihatkan kamp-kamp pasukan Goth pada Pengepungan Roma (537-538).
Pada akhir musim semi 536, Belisarius menyeberangkan pasukannya ke Italia dan segera menduduki Rhegium. Tentara Romawi juga menjarah Napoli setelah pengepungan yang cukup mahal pada bulan November dan akhirnya memasuki kota Roma tanpa perlawanan apapun pada bulan Desember. Kecepatan pergerakan Belisarius telah mengagetkan bangsa Goth, dan kepasifan Theodahad semakin membuat mereka murka. Setelah kejatuhan Napoli ke tangan Romawi, Theodahad digulingkan dan raja baru dipilih. Witigis kemudian meninggalkan Roma dan bergerak menuju Ravenna. Disana, ia menikahi putri Amalasuntha, Matasuntha, dan mulai mengumpulkan pasukannya untuk melawan invasi Belisarius. Witigis lalu memimpin sepasukan besar bangsa Goth berbaris menuju Roma, dimana Belisarius, yang tidak memiliki cukup tentara untuk menghadapi pasukan Goth pada pertempuran terbuka, berjaga-jaga. Pengepungan Roma ini, yang merupakan pengepungan pertama dari tiga kali pengepungan selama Perang Goth, berlangsung selama setahun, dari Maret 537 – Maret 538. Selama rentang waktu ini, sempat terjadi beberapa kontak senjata antara pihak Romawi dan Goth, termasuk di dalamnya kontak militer yang cukup besar, namun ketika pasukan bantuan datang pada bulan April tahun 537 (1.600 tentara Slavia dan Hun)[15] dan November 537 (5.000 tentara),[15] pasukan Romawi yang awalnya mengambil posisi bertahan mulai melancarkan serbuan ofensif ke pihak Goth. Pasukan berkuda Romawi berhasil menduduki beberapa kota yang terletak di belakang pasukan Goth, yang membuat kondisi mereka semakin memburuk[16] pasca situasi logistik dan mengancam keberadaan masyarakat sipil Goth. Pada akhirnya, penaklukan Ariminum (Rimini sekarang) yang terletak tak jauh dari Ravenna memaksa Witigis untuk mengakhiri pengepungan Roma dan mundur.[17]

[sunting] Pengepungan Ariminum, kedatangan Narses

Bersamaan dengan pergerakan Witigis ke arah timur laut, ia memperkuat garnisun-garnisun di banyak kota dan benteng di sepanjang perjalanannya, untuk mengamankan posisi belakangnya, untuk kemudian berbelok menuju Ariminum. 2000 pasukan kavaleri[18] Romawi yang menduduki kota tersebut, terdiri atas beberapa unit kavaleri elite Belisarius, dan Belisarius memutuskan untuk mengganti posisi mereka dengan garnisun infantri, supaya ia dapat menggunakan mereka dalam operasi lanjutan kapanpun. Namun demikian, komandan mereka, Yohanes, menolak untuk mengikuti perintah Belisarius dan tiba di Ariminum. Kesalahan ini kemudian dianggap tepat ketika sesaat kemudian tentara Goth tiba di Ariminum.[19] Meskipun serbuan awal gagal, mereka melanjutkan untuk mengepung kota Ariminum yang sedang kekurangan logistik. Di saat yang sama, pasukan Goth yang lain melanjutkan serbuannya ke Ancona. Meskipun mereka telah memukul mundur pasukan Romawi di pertempuran terbuka, mereka kemudian gagal untuk merebut pertahanan Ancona. Pada saat tersebut, kekuatan baru berupa 2.000 foederati dari suku Herul di bawah komando sang kasim Narses, tiba di Picenum.[20] Belisarius bergerak untuk menemui Narses, dan ketika kedua jenderal bertemu pada sebuah konsili, mereka tidak setuju terhadap jalur yang akan ditempuh. Narses menginginkan ekspedisi langsung untuk membebaskan Ariminum, sedangkan Belisarius menginginkan pendekatan yang lebih hati-hati, tetapi ketika Yohanes mengirimkan surat mengenai rawannya kondisi mereka di Ariminum, Belisarius akhirnya menyetujui strategi yang diterapkan Narses.[21] Belisarius membagi pasukannya menjadi tiga bagian, satu bagian menyerbu Ariminum lewat laut, dipimpin oleh bawahannya yang paling terpercaya, Ildiger, pasukan kedua yang menyerbu dari selatan kota dipimpin oleh Mastin yang juga sama berpengalamannya, dan pasukan utama dipimpin oleh Belisarius sendiri dan Narses, yang akan menyerbu dari arah barat laut. Witigis telah menduga kedatangan mereka, dan, di tengah kemungkinan bahwa ia akan dikepung oleh pasukan yang lebih kuat, bangsa Goth segera mundur ke Ravenna[22]

Penggambaran Belisarius di Palazzo del Bosco Benevento, Siracusa.

[sunting] Perselisihan antara Belisarius dan Narses

Kemenangan tak berdarah di Ariminum membuat posisi Narses jadi sama kuatnya dengan Belisarius. Banyak panglima-panglima pasukan Romawi, termasuk Yohanes, mulai memilih untuk lebih berpihak kepada Narses. Pada suatu pertemuan setelah kemenangan di Ariminum, perselisihan ini menjadi tampak sangat jelas. Ketika Belisarius ingin mengurangi jumlah garnisun Goth yang cukup kuat di Auximum (Osimo sekarang) dan membawa bala bantuan ke Mediolanum (lihat bawah), Narses lebih memilih usaha yang tersebar, termasuk operasi militer skala besar di Aemilia.[23] Belisarius tidak membiarkan perselisihan ini berlangsung lebih jauh, dan Belisarius kemudian justru bergerak bersama Narses dan Yohanes untuk merebut Urbinum. Kedua pasukan berkemah di tempat berbeda, dan tidak lama setelah itu, Narses, yang yakin bahwa kota tersebut memiliki pertahanan jempolan dan tersuplai dengan baik secara logistik, meninggalkan kemah dan bergerak menuju Ariminum. Dari situ ia mengirim Yohanes ke Aemilia, yang secepat kilat dapat ditaklukan. Lebih dari itu, dibantu oleh kekeringan yang mulai melanda Urbinum, kota itu kemudian segera jatuh ke tangan Belisarius.[24] Pada tingkatan apapun, pasukan Bizantum di Italia sekarang dikomandani oleh dua orang yang berbeda, dan hasil dari kesalahan prosedural ini akan segera tampak dengan tragis pada saat kegagalan pasukan Bizantium untuk membebaskan Mediolanum dari pengepungan bangsa Goth.

[sunting] Pengepungan dan penjarahan Mediolanum

Pada bulan April 538, Belisarius, dipetisikan oleh perwakilan dari Mediolanum (Milan), yang juga merupakan kota kedua terkaya dan terbanyak penduduknya setelah Roma, telah mengirimkan pasukan berjumlah 1.000 orang di bawah komando Mundilas menuju Mediolanum. Pasukan ini kemudian berhasil mengamankan Mediolanum dan sebagian besar wilayah Liguria, kecuali kota Ticinum (Pavia), dengan mudah. Kendati demikian, Witigis telah meminta bantuan dari kaum Frank, dan sepasukan suku Burgundi secara cepat dan tak terduga telah menyeberangi pegunungan Alpen dan bersama dengan pasukan suku Goth di bawah pimpinan Urias mengepung Mediolanum. Mediolanum sendiri pada waktu itu tidak dipertahankan dengan baik, karena pasukan Romawi telah disebar untuk menjaga kota-kota dan perbentengan di sekitar Mediolanum. Pasukan penolong segera disiapkan oleh Belisarius, tetapi bawahannya, Martinus dan Uliaris, tidak melakukan usaha apapun untuk mengakhiri pengepungan.[25] Alih-alih berusaha, mereka justru meminta bantuan lebih banyak dari Yohanes dan magister militum per Illyricum Justinus, yang beroperasi di provinsi Aemilia, dekat Mediolanum. Pada titik ini, perselisihan di antara panglima pasukan Romawi semakin memperburuk keadaan. Yohanes dan Justinus sama-sama menolak untuk bergerak tanpa perintah dari Narses, dan lebih dari itu, Yohanes kemudian jatuh sakit dan persiapan pun terhenti. Penundaan ini terbukti fatal bagi Mediolanum di kemudian hari, setelah dikepung selama beberapa bulan, kota pun mulai mengalami kelaparan. Bangsa Goth menawarkan Mundilas jaminan bahwa pasukannya tidak akan dibunuh apabila ia menyerah, tetapi mengingat tidak adanya jaminan keselamatan bagi penduduk sipil, Mundilas menolak tawaran ini sampai akhir bulan Maret 539, ketika pasukannya yang kelaparan memaksa Mundilas untuk menerima syarat-syarat dari bangsa Goth. Garnisun Romawi berhasil dirselamatkan, tetapi penduduk Mediolanum menjadi korban pembantaian bangsa Goth. Mediolanum sendiri kemudian dibakar habis.[26]

[sunting] Invasi bangsa Franka ke Italia Utara, jatuhnya Auximum dan Faesulae


Pergerakan pasukan dalam Perang Goth.
Setelah bencana tersebut menimpa pasukan Romawi, Narses dipanggil kembali ke Konstantinopel, dan Belisarius diangkat sebagai komandan tertinggi dengan otoritas mutlak atas Italia. Pada saat yang sama, Witigis mengirim duta besarnya ke istana Persia, berharap agar dapat meyakinkan Khosrau I untuk mengobarkan kembali permusuhan dengan bangsa Romawi. Apabila ini berhasil, maka Justinianus akan terpaksa untuk memfokuskan sebagian besar tentaranya, termasuk Belisarius, untuk menangani perang di timur, dan memberikan kesempatan bagi bangsa Goth untuk memperbaiki diri. Perang pasti akan datang, tetapi terlambat bagi Witigis.[27] Belisarius, demi keamanannya sendiri, berkeputusan untuk mengakhiri perang dengan menduduki Ravenna. Demi tercapainya tujuan ini, Belisarius harus berhadapan dengan dua benteng Goth di Auximum dan Faesulae (Fiesole).[28] Ketika Martinus dan Yohanes sedang sibuk mencegah tentara Goth untuk menyeberangi Sungai Po, sebagian pasukan Justinus mengepung Faesulae, dan Belisarius sendiri memimpin pasukan untuk mengepung Auximum. Ketika pengepungan sedang berlangsung, sepasukan besar bangsa Franka di bawah komando raja Theudebert I menyeberangi pegunungan Alpen dan, bersama bangsa Goth dan Romawi, mendirikan kemah tentara di kedua sisi Sungai Po. Bangsa Goth, yang mengira mereka datang sebagai sekutu, segera dipukul mundur. Pasukan Romawi yang sama terkejutnya, memberikan perlawanan tetapi juga segera dikalahkan dan segera mundur ke arah selatan, menuju Tuscany. Pada saat itu, serbuan bangsa Franka yang dapat mengubah jalannya peperangan, dikalahkan oleh merebaknya wabah disentri yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang cukup besar dan memaksa bangsa Franka untuk mundur. Belisarius berkonsentrasi untuk merebut kedua kota yang telah terkepung, yang berhasil dilakukan pada saat garnisun kedua kota dilanda kelaparan dan terpaksa menyerah pada bulan Oktober atau November tahun 539.[29]

[sunting] Perebutan Ravenna dan kepergian Belisarius

Setelah keberhasilan ini memusnahkan ancaman-ancama potensial bagi lini belakang Belisarius, dan setelah mendapat pasokan tentara-tentara baru yang masih segar dari Dalmatia, Belisarius bergerak menuju Ravenna. Detasemen-detasemen pasukan berkuda dikirim ke bagian utara sungai Po, dan armada kekaisaran terus berpatroli di laut Adriatik, mengisolasi kota Ravenna dari segala macam suplai logistik. Di dalam ibukota Goth yang terkepung, Witigis menerima duta besar bangsa Franka yang datang mencari sekutu, tetapi setelah kejadian pada musim panas selajutnya, Witigis tidak dapat mempercayai seluruh permintaan bangsa Franka lagi. Tak lama kemudian, seorang duta besar datang dari Konstantinopel, membawa syarat-syarat diplomatik yang mengejutkan dari Justinianus. Bertekad untuk mengakhiri perang dan berkonsentrasi terhadap perang melawan Persia yang mengancam, sang Kaisar menawarkan pembagian tanah Italia: wilayah di sebelah selatan Sungai Po menjadi milik kekaisaran dan wilayah di sebelah utara menjadi hak milik bagi bangsa Goth. Bangsa Goth sudah menyetujui persyaratan tersebut, tetapi Belisarius, yang menganggap hal ini sebagai pengkhianatan atas segala upaya dan pencapaiannya, menolak untuk menandatangani perjanjian ini, kendati para panglimanya tidak setuju dengan dia.[30] Kecewa, bangsa Goth mengerahkan rencana terakhirnya. Mereka menawarkan Belisarius, yang mereka hormati, untuk menjadi Kaisar Romawi Barat. Belisarius tidak memiliki keinguinan untuk menerima pengangkatan ini, tetapi ia melihat bagaimana ia dapat menggunakan kesempatan ini demi keuntungannya sendiri dan diam-diam menerima pengangkatannya. Akhirnya, pada bulan mei 540, Belisarius dan pasukannya memasuki Ravenna. Ravenna tidak dijarah, dan bangsa Goth diperlakukan dengan baik dan diperbolehkan untuk menyimpan semua harta bendaproperty mereka. Setelah penyerahan Ravenna, beberapa garnisun pasukan Goth di sebelah utara Sungai Po menyerah. Beberapa tetap berada di tangan pasukan Goth, di antaranya adalah Ticinum, markas Uraias, dan Verona yang berada di bawah perintah Ildibad. Sesaat kemudian, Belisarius bergegas menuju Konstantinopel, dimana dia menolak kehormatan untuk diarak masuk ke kota. Witigis diangkat sebagai patrician dan dikirim ke tempat pensiun yang nyaman, dan pasukan Goth yang tertangkap dikirim untuk memperkuat pasukan Bizantium.

[sunting] Masa kekuasaan Ildibad dan Eraric

"Jika Belisarius tidak ditarik mundur, dia mungkin akan dapat menuntaskan penaklukan semenanjung Apenina kurang dari beberapa bulan. Hal ini, yang merupakan solusi terbaik, dikalahkan oleh kecemburuan Justinianus; dan perdamaian yang diusulkan oleh Kaisar yang merupakan solusi terbaik kedua, dikalahkan oleh ketidakpatuhan para panglimanya. Di antara mereka, mereka bertanggung jawab atas terciptanya konflik di atas Italia yang berlangsung lebih dari 12 tahun."
John Bagnell Bury
History of the Later Roman Empire, Vol. II, Ch. XIX
Kepergian Belisarius meninggalkan sebagian besar Italia di tangan Romawi, tetapi di sisi utara Po, Ticinum dan Verona tetap tidak tertaklukan. Sesaat kemudian, ketidakpercayaan Belisarius menjadi terbukti. Bangsa Goth, di bawah hasutan Uraias, memilih Ildibad sebagai raja baru mereka. Di depan mata Belisarius sendiri, Justinianus mengacuhkan pengangkatan seorang komandan tertinggi. Ketika pasukan Romawi dan para panglimanya mengacuhkan kedisiplinan dan menjalankan aksi penjarahan, dan birokrasi kekaisaran yang baru terbentuk segera diserbu oleh ketidaksukaan masyarakat terutama atas kebijakan fiskal yang sangat opresif,[31] Ildibad kembali mengambil alih kontrol atas Venesia dan Liguria. Ildibad mengalahkan Vitalius dengan telak di Treviso, tetapi setelah Uraias terbunuh karena pertengkaran di antara istri keduanya, Ildibad pun dibunuh pada bulan Mei tahun 541. Pada titik ini, bangsa Rugia, sisa-sisa dari pasikan Odoaker yang tinggal di Italia dan memihak bangsa Goth, memproklamirkan salah satu anggota mereka, Eraric, sebagai raja baru mereka. Pilihan ini kemudian dikirimkan kepada bangsa Goth dengan penuh sikap penasaran.[32] Kendatipun demikian, Eraric mencoba membujuk bangsa Goth untuk memulai negosiasi dengan Justinianus, tetapi diam-diam berniat untuk menyerahkan wilayahnya kepada Kaisar. Bangsa Goth melihat kepasifan ini apa adanya, dan beralih kepada kemenakan Ildibad, Totila (atau Baduila), dan menawarkan dia untuk dijadikan raja. Ironisnya, Totila telah membuka negosiasi dengan bangsa Romawi, tetapi ketika dia dihubungi oleh seorang konspirator, ia diangkat. Akhirnya, pada awal musim gugur tahun 541, Eraric dibunuh dan Totila diangkat sebagai raja.[33]

[sunting] Kebangkitan bangsa Goth pimpinan Totila, 541-551

[sunting] Keberhasilan awal bangsa Goth

Totila disukai atas niatnya untuk mengembalikan kejayaan bangsa Goth atas tiga dasar: merebaknya wabah besar yang merusak dan membunuh sebagian besar populasi Kekaisaran Bizantium pada tahun 542, dimulainya perang baru antara Bizantium dan Persia, dan ketidakmampuan serta kelemahan berbagai panglima Romawi di Italia, yang memberinya keberhasilan perdana. Setelah banyak penegasan oleh Justinianus, panglima Konstantianus dan Alexander menggabungkan pasukanya dan bergerak menuju Verona. Dengan akal bulus mereka, kedua panglima ini berhasil merebut kembali gerbang Verona, tetapi kemudian tertunda sangat lama karena pertengkaran mereka soal kemungkinan bangsa Goth untuk merebut kembali gerbang tersebut, sehingga memaksa pasukan Romawi untuk mundur. Totila datang dari perkemahan mereka dekat Faventia (Faenza), dan dengan kekuatan 5.000 orang, ia berhasil mengalahkan pasukan Romawi.[34] Totila kemudian begerak menuju Tuscany, dimana dia mengepung Firenze. Tiga panglima Romawi, Yohanes, Bessas dan Cyprian berbaris untuk membantu mempertahankan Firenze, tetapi dalam sebuah pertempuran di Mucellium, pasukan mereka, meskipun unggul dalam jumlah, dikalahkan dan tercerai-berai.

[sunting] Ekspedisi militer di Italia Selatan dan jatuhnya Napoli

Alih-alih tetap di Italia Tengah, tempat pasukannya dikalahkan dalam jumlah dan bahkan satu kekalahan pun dapat menjadi bencana, Totila memutuskan untuk bergerak ke selatan, dimana garnisun Romawi jumlahnya sangat sedikit dan lemah. Ia melewati kota Roma dan segera, provinsi-provinsi di Italia selatan dipaksa untuk mengakui pemerintahannya. Operasi militer ini secara tersirat menggambarkan titik krusial dari strategi Totila: pergerakan cepat untuk merebut kendali atas pedesaan, mengisolasi pasukan Romawi di benteng-benteng pertahanan, sebagian besar di daerah pantai, yang dapat dihancurkan kemudian. Ketika sebuah benteng pertahanan jatuh, tembok pertahanannya biasanya diruntuhkan agar benteng tersebut tak lagi bernilai secara militer. Lebih jauh, Totila menerapkan kebijakan untuk memperlakukan tawanannya dengan baik, sehingga membuat mereka lebih memilih menyerah daripada melawan sampai akhir, dan secara aktif berusaha memenangkan hati masyarakat Italia. Pada saat yang sama, operasi militernya mengakibatkan gangguan serius terhadap sistem fiskal kekaisaran di Italia, sejak sekarang pajak mengalir ke kantong Totila, dan pembayaran pasukan Romawi mulai terganggu.
Segera, pasukannya bergerak menuju Napoli, yang dipertahankan oleh panglima Conon bersama 1.000 pasukan. Upaya mengadakan pasukan tambahan berskala besar dilakukan oleh magister militum Demetrius yang baru saja diangkat dari Sisilia dicegat dan hamper seluruhnya dihancurkan oleh kapal-kapal perang pasukan Goth. Mengetahui kondisi pasukan bertahan, Totila menjanjikan jalur aman bagi pasukan bertahan apabila mereka menyerah. Terdesak oleh kelaparan, Conon menerimanya, dan pada akhir Maret sampai awal April 543, Napoli menyerah.[35]

[sunting] Belisarius kembali ke Italia

Mengambil keuntungan dari gencatan senjata selama lima tahun di Persia, Belisarius dikirm kembali ke Italia bersama 200 kapal perang[36] pada tahun 544, ketika ia mengetahui bahwa situasi telah banyak berubah. Ia gagal untuk mencegah jatuhnya Roma ketika dikepung oleh Totila pada tahun 546, meskipun akhirnya ia dapat merebut Roma kembali pada tahun 547. Kendatipun demikian, operasi militer Italianya yang kedua terbukti gagal akibat ketiadaan suplai logistik dan bantuan pasukan karena kecemburuan Justinianus, apabila kita mengambil pandangan Procopius. Roma dikepung lagi oleh Totila untuk ketiga kalinya pada tahun 549, yang tawaran perdamaiannya ditolak oleh Justinianus.

[sunting] Narses menaklukan Italia, 551-554


Die Gotenschlacht am Vesuv oleh Alexander Zick, menggambarkan Pertempuran Mons Lactarius.
Operasi militer baru sedang dirancang oleh kemenakan Justinianus, Germanus Justinus. Seiring kematian Germanus pada tahun 551, Narses mengambil alih peperangan melawan Totila, dan Totila berhasil dikalahkan dan dibunuh pada Pertempuran Taginae. Bangsa Goth yang masih bertahan di Roma segera dilucuti persenjataannya, dan pada Pertempuran Mons Lactarius, bulan Oktober 553, Narses mengalahkan Teias dan sisa-sisa pasukan Goth di Italia.

[sunting] Hasil akhir

Kemenangan tipis pada Perang Goth menguras hampir seluruh sumber daya Kekaisaran Bizantium yang seharusnya dapat dipergunakan untuk melawan ancaman yang lebih mengerikan di timur. Di Italia, perang merusak hampir seluruh tatanan sosial masyarakat kota yang didukung oleh penduduk pedesaan. Kota Roma dan para sekutunya kemudian ditelantarkan seiring kejatuhan Italia ke dalam sebuah periode kejatuhan yang panjang. Kejatuhan Italia dan terkurasnya sumber daya kekaisaran, membuat Kekaisaran Bizantium tidak dapat lagi memegang kendali atas Italia. Hasil taklukan kekaisaran segera lepas: hanya tiga tahun pasca kematian Justinianus, daerah Italia jatuh ke tangan suku Jerman, bangsa Lombardia, meninggalkan daerah Ravenna, dan secuil daerah yang tersebar dari Italia Tengah sampai Laut Tirenia dan selatan Napoli, beserta bagian-bagian dari Italia Selatan sebagai sisa-sisa taklukan kekaisaran. Justinianus juga mampu untuk menguasai kembali Hispania Selatan tetapi daerah itu juga ditaklukan oleh suku Jerman beberapa dekade kemudian. Setelah perang Goth, Kekaisaran Bizantium tidak lagi melakukan ekspedisi yang ambisius di barat. Roma sendiri tetap berada di tangan kekaisaran sampai daerah Ravenna akhirnya dihancurkan oleh bangsa Lombardia pada tahun 751. Italia Selatan tetap dalam kendali Romawi Timur (dikelola langsung dari Konstantinopel) sa
mpa akhir abad ke-11.