Minggu, 08 Mei 2011

Perang Goth (535–554)

Perang Goth
Bagian dari Perang penaklukan kembali Justinianus I
Gotenkrieg.png
Tanggal 535554
Lokasi Italia dan Dalmatia
Hasil Kemenangan Bizantium
Perubahan wilayah Italia dan Dalmatia direbut
Pihak yang terlibat
Kekaisaran Bizantium Ostrogoth,
Franka
Komandan
Belisarius,
Mundus,
Narses,
Germanus,
Liberius
Theodahad,
Vitiges,
Ildibad,
Totila,
Teia
Jumlah korban


Lebih dari 5.000.000 tewas akibat pertempuran, penyakit, dan kelaparan
Perang Goth adalah peperangan yang berlangsung di Italia dan wilayah-wilayah di sekitarnya seperti Dalmatia, Sardinia, Sisilia, dan Korsika mulai tahun 535 sampai tahun 554 antara pasukan Kekaisaran Romawi Timur dan pasukan Kerajaan Ostrogoth. Secara umum, perang ini dibagi menjadi dua fase. Fase pertama (535-540) berakhir dengan jatuhnya Ravenna dan penaklukan Italia oleh pasukan Bizantium, sementara fase kedua (540/541-553) berciri perlawanan bangsa Goth yang dikobarkan kembali oleh Totila. Perlawanan tersebut baru bisa ditundukkan setelah peperangan panjang yang dilancarkan oleh Narses, yang juga berhasil menggagalkan invasi Franka-Alamanni pada tahun 554. Kendati demikian, kota-kota di Italia Utara masih melanjutkan perlawanan sampai awal tahun 560-an.
Perang ini diawali oleh ambisi Kaisar Justinianus untuk merebut kembali provinsi-provinsi wilayah Kekaisaran Romawi Barat yang lepas akibat invasi suku-suku barbar pada awal abad sebelumnya (lihat juga Masa Migrasi). Durasi peperangan yang cukup lama mengakibatkan kehancuran Italia dan penurunan populasi Italia dari 7 juta jiwa menjadi 2,5 juta jiwa sebagai akibat dari peperangan, kelaparan, dan wabah penyakit. Selain itu, kekayaan Kekaisaran Bizantium juga berkurang. Akibatnya, Bizantium tidak dapat bertahan dari serbuan bangsa Lombardia pada tahun 568, yang mengakibatkan lepasnya sebagian besar daerah Italia.

Latar belakang

[sunting] Italia di bawah kekuasaan Goth

Pada tahun 476, Kekaisaran Romawi Barat digulingkan ketika Odoaker menggulingkan Kaisar Romulus Augustulus dan menobatkan dirinya sendiri sebagai Rex Italiae ("Raja Italia"). Meskipun ia mengakui kekuasaan dari Kaisar Bizantium, Zeno, kebijakannya mengenai kemerdekaan dan peningkatan kekuatannya membuat Kerajaan Ostrogoth menjadi ancaman di mata Konstantinopel. Pada masa ini, Ostrogoth, di bawah kepemimpinan Theodoric, selain hidup sebagai foederati dari kekaisaran di wilayah Balkan Barat juga mulai menumbuhkan bibit-bibit pemberontakan. Zeno memutuskan untuk "membunuh dua burung dengan satu batu", dengan mengirim kaum Ostrogoth ke Italia untuk menggulingkan Odoaker, dan Italiapun menjadi wilayah kekuasaan Goth. Walaupun demikian, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya dengan Theodoric, Zeno dan penerusnya Anastasius I, wilayah Italia dan penduduknya dianggap sebagai bagian dari Kekaisaran Bizantium, sedangkan Theodoric hanya berfungsi sebagai perwakilan kerajaan (viceroy) sekaligus kepala urusan militer (magister militum).[1] Kesepakatan ini sudah diteliti oleh Theodoric: administrasi tetap berjalan seperti biasa dan hanya dijalankan secara eksklusif oleh warga negara Romawi, dan legislasi tetap menjadi hak prerogatif Kaisar.[2] Di saat yang sama, angkatan bersenjata tetap dikhususkan bagi orang-orang Goth, yang dikepalai oleh kepala-kepala suku mereka sendiri, lengkap dengan pengadilannya sendiri.[3] Kedua suku ini lebih jauh dipisahkan oleh agama: populasi Romawi menganut aliran Khalsedon, sedangkat orang-orang Goth menganut aliran Arian, meskipun demikian, tidak seperti suku Vandal atau angkatan Visigoth awal, toleransi beragama telah dijalankan.[4] Dual System yang rumit ini berjalan dengan efektif di bawah kepemimpinan Theodoric yang kuat, yang mengetahui bagaimana cara menjalankan kebijakan sendiri, tanpa mengasingkan aristokrat-aristokrat Romawi. Namun, sistem ini mulai terpecah belah pada tahun-tahun akhir kekuasaannya dan runtuh sepenuhnya di tangan penerus-penerusnya.
Dengan kenaikan Justinianus I, berakhirnya skisma Acacius, dan kembalinya persatuan eklesik dengan Romawi Timur, beberapa anggota aristokrat senat Italia mulai mendekatkan diri dengan kekuasaan Konstantinopel untuk menyeimbangkan dominasi bangsa Goth. Penggulingan dan pembunuhan magister officiorum Boethius dan mertuanya pada tahun 524 merupakan salah satu gejala dari dimulainya pengasingan kasta mereka dari rezim Goth. Ketika Theodoric mangkat pada Agustus 526, tampuk kekuasaan dilanjutkan oleh cucunya Athalaric. Mengingat bahwa ia masih seorang bayi, kursi tertinggi pemerintahan untuk sementara dipegang oleh ibu Athalaric, Amalasuntha, yang telah mendapatkan pendidikan ala Romawi dan memulai kebijakan rekonsiliasi dengan Senat dan kekaisaran.[5] Kebijakan-kebijakan ini, dan usahanya mendidik Athalarik dengan gaya Romawi, menimbulkan ketidaksenangan di kalangan pemimpin Goth, yang memulai plot-plot keras melawan Amalasuntha. Melihat bahaya ini, Amalasuntha mengeksekusi tiga konspirator, dan pada saat yang sama, menulis surat kepada kaisar baru, Justinianus I, dan meminta suaka politik jika ia terpaksa untuk meninggalkan Italia. Kendati demikian, Amalasuntha tetap menjadi pemimpin Italia,[6] meskipun setelah kematian sang anak pada 534. Dalam mencari dukungan, ia memilih sepupunya Theodahad untuk diangkat sebagai raja. Langkah ini merupakan langkah yang cukup fatal, karena kemudian Theodahad menangkap Amalasuntha dan pada awal tahun 535 mengeksekusinya.[7]

[sunting] Kebijakan dan persiapan Justinianus

Pada tahun 533, dengan memanfaatkan sengketa dinasti, Justinianus mengirim panglimanya yang paling berbakat, Belisarius, untuk mengembalikan provinsi-provinsi Afrika Utara dari tangan suku Vandal. Perang Vandal menghasilkan kemenangan yang cepat dan penting bagi Kekaisaran Bizantium. Selama perang ini, Amalasuntha telah mengizinkan armada Bizantium untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan di Pulau Sisilia, yang dikuasai oleh Kerajaan Ostrogoth, sebagai daerah basis operasi.[8] Lewat agen-agennya, Justinianus berusaha untuk menyelamatkan nyawa Amalasuntha, tetapi gagal. Kematiannya, dalam kondisi apapun, memberikan alasan yang sempurna untuk memulai peperangan. Seperti yang ditulis oleh Procopius: "tak lama setelah ia [Justinianus] mendengar apa yang terjadi pada Amalasuntha, pada tahun kesembilan kekuasaanya, ia memasuki kancah peperangan."[9]
Belisarius diangkat sebagai panglima angkatan bersenjata (‘‘stratēgos avtokratōr‘‘) ekspedisi melawan Italia dengan kekuatan 7,500 tentara, sedangkan Mundus, magister militum per Illyricum, ditugaskan untuk menduduki Dalmatia. Harus diperhatikan disini bahwa kekuatan pasukan pimpinan Belisarius relatif jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan saat ia melawan suku Vandal, musuh yang jauh lebih lemah dibandingkan suku Ostrogoth. Persiapan operasi militer dilaksanakan dalam kerahasiaan penuh, sambil Justinianus mencoba mengamankan netralitas suku Franka dengan memberi mereka hadiah berupa emas.[10]

[sunting] Belisarius melumpuhkan kekuatan bangsa Goth, 535-540

[sunting] Kejatuhan Sisilia dan Dalmatia ke tangan pasukan Romawi

Belisarius pertama-tama mendarat di Sisilia, yang secara strategis terletak di antara Afrika Utara dan Italia. Masyarakat Sisilia sendiri memiliki simpati yang cukup mendalam terhadap kekaisaran Bizantium. Pulau ini segera ditaklukan dengan mudah. Perlawanan diberikan oleh bangsa Goth di Panormus (Palermo sekarang), dan dengan mudah dikalahkan pada akhir bulan Desember. Dari sana, Belisarius mempersiapkan diri untuk menyeberang ke tanah Italia, tempat Theodahad, yang ketakutan melihat keberhasilan Romawi. Theodad sendiri telah mengirim duta-dutanya untuk menemui Justinianus. Dia pada awalnya meawarkan untuk menyerahkan Sisilia dan mengakui kedaulatan Justinianus, namun kemudian tawaran ini dinaikan menjadi seluruh dataran Italia.[11][12] Di saat yang sama, kemenangan dan kekalahan terus-menerus dialami oleh tentara Romawi di Dalmatia. Mundus dengan cepat berhasil menyerbu Dalmatia dan menduduki ibu kotanya, Salona. Namun, sekelompok besar tentara Goth telah datang untuk mengklaim kembali kepemilikannya atas daerah tersebut dan Mauricius, anak dari Mundus, tewas pada saat terjadi kontak senjata dengan tentara Goth. Kendatipun demikian, selama pengejaran tersebut, Mundus sendiri menderita luka serius. Hasilnya, seluruh tentara Romawi menarik diri, dan seluruh daerah Dalmatia, kecuali Salona, ditinggalkan oleh bangsa Goth.[13] Seluruh rangkaian kejadian ini terjadi pada Maret 536, dan Theodahad, belajar dari keberhasilan ini, menjadi percaya diri, dan menolak serta memenjarakan duta besar utusan Justinianus. Segala kemungkinan damai tertutup sekarang. Justinianus kemudian menugaskan Konstantianus sebagai ‘’magister militum per Illyricum’’ yang baru untuk merebut kembali Dalmatia, dan memerintahkan Belisarius untuk menyerbu dataran Italia. Konstantianus dengan cepat menyelesaikan tugasnya. Gripas, jenderal suku Goth, meninggalkan Salona yang baru saja berhasil direbutnya, sebagai akibat dari hancurnya perbentengan kota dan kurangnya dukungan rakyat yang lebih banyak berpihak kepada bangsa Romawi, menuju ke arah utara. Konstantianus kemudian menduduki kota Salona dan membangun kembali benteng pertahanannya. Seminggu kemudian, tentara Goth bergerak menuju Italia, sehingga akhirnya pada akhir Juni, Dalmatia kembali berada di tangan Roma.[14]

[sunting] Witigis naik tahta, pengepungan pertama Roma


Dinding dan gerbang kota Roma pada abad keenam Masehi, juga diperlihatkan kamp-kamp pasukan Goth pada Pengepungan Roma (537-538).
Pada akhir musim semi 536, Belisarius menyeberangkan pasukannya ke Italia dan segera menduduki Rhegium. Tentara Romawi juga menjarah Napoli setelah pengepungan yang cukup mahal pada bulan November dan akhirnya memasuki kota Roma tanpa perlawanan apapun pada bulan Desember. Kecepatan pergerakan Belisarius telah mengagetkan bangsa Goth, dan kepasifan Theodahad semakin membuat mereka murka. Setelah kejatuhan Napoli ke tangan Romawi, Theodahad digulingkan dan raja baru dipilih. Witigis kemudian meninggalkan Roma dan bergerak menuju Ravenna. Disana, ia menikahi putri Amalasuntha, Matasuntha, dan mulai mengumpulkan pasukannya untuk melawan invasi Belisarius. Witigis lalu memimpin sepasukan besar bangsa Goth berbaris menuju Roma, dimana Belisarius, yang tidak memiliki cukup tentara untuk menghadapi pasukan Goth pada pertempuran terbuka, berjaga-jaga. Pengepungan Roma ini, yang merupakan pengepungan pertama dari tiga kali pengepungan selama Perang Goth, berlangsung selama setahun, dari Maret 537 – Maret 538. Selama rentang waktu ini, sempat terjadi beberapa kontak senjata antara pihak Romawi dan Goth, termasuk di dalamnya kontak militer yang cukup besar, namun ketika pasukan bantuan datang pada bulan April tahun 537 (1.600 tentara Slavia dan Hun)[15] dan November 537 (5.000 tentara),[15] pasukan Romawi yang awalnya mengambil posisi bertahan mulai melancarkan serbuan ofensif ke pihak Goth. Pasukan berkuda Romawi berhasil menduduki beberapa kota yang terletak di belakang pasukan Goth, yang membuat kondisi mereka semakin memburuk[16] pasca situasi logistik dan mengancam keberadaan masyarakat sipil Goth. Pada akhirnya, penaklukan Ariminum (Rimini sekarang) yang terletak tak jauh dari Ravenna memaksa Witigis untuk mengakhiri pengepungan Roma dan mundur.[17]

[sunting] Pengepungan Ariminum, kedatangan Narses

Bersamaan dengan pergerakan Witigis ke arah timur laut, ia memperkuat garnisun-garnisun di banyak kota dan benteng di sepanjang perjalanannya, untuk mengamankan posisi belakangnya, untuk kemudian berbelok menuju Ariminum. 2000 pasukan kavaleri[18] Romawi yang menduduki kota tersebut, terdiri atas beberapa unit kavaleri elite Belisarius, dan Belisarius memutuskan untuk mengganti posisi mereka dengan garnisun infantri, supaya ia dapat menggunakan mereka dalam operasi lanjutan kapanpun. Namun demikian, komandan mereka, Yohanes, menolak untuk mengikuti perintah Belisarius dan tiba di Ariminum. Kesalahan ini kemudian dianggap tepat ketika sesaat kemudian tentara Goth tiba di Ariminum.[19] Meskipun serbuan awal gagal, mereka melanjutkan untuk mengepung kota Ariminum yang sedang kekurangan logistik. Di saat yang sama, pasukan Goth yang lain melanjutkan serbuannya ke Ancona. Meskipun mereka telah memukul mundur pasukan Romawi di pertempuran terbuka, mereka kemudian gagal untuk merebut pertahanan Ancona. Pada saat tersebut, kekuatan baru berupa 2.000 foederati dari suku Herul di bawah komando sang kasim Narses, tiba di Picenum.[20] Belisarius bergerak untuk menemui Narses, dan ketika kedua jenderal bertemu pada sebuah konsili, mereka tidak setuju terhadap jalur yang akan ditempuh. Narses menginginkan ekspedisi langsung untuk membebaskan Ariminum, sedangkan Belisarius menginginkan pendekatan yang lebih hati-hati, tetapi ketika Yohanes mengirimkan surat mengenai rawannya kondisi mereka di Ariminum, Belisarius akhirnya menyetujui strategi yang diterapkan Narses.[21] Belisarius membagi pasukannya menjadi tiga bagian, satu bagian menyerbu Ariminum lewat laut, dipimpin oleh bawahannya yang paling terpercaya, Ildiger, pasukan kedua yang menyerbu dari selatan kota dipimpin oleh Mastin yang juga sama berpengalamannya, dan pasukan utama dipimpin oleh Belisarius sendiri dan Narses, yang akan menyerbu dari arah barat laut. Witigis telah menduga kedatangan mereka, dan, di tengah kemungkinan bahwa ia akan dikepung oleh pasukan yang lebih kuat, bangsa Goth segera mundur ke Ravenna[22]

Penggambaran Belisarius di Palazzo del Bosco Benevento, Siracusa.

[sunting] Perselisihan antara Belisarius dan Narses

Kemenangan tak berdarah di Ariminum membuat posisi Narses jadi sama kuatnya dengan Belisarius. Banyak panglima-panglima pasukan Romawi, termasuk Yohanes, mulai memilih untuk lebih berpihak kepada Narses. Pada suatu pertemuan setelah kemenangan di Ariminum, perselisihan ini menjadi tampak sangat jelas. Ketika Belisarius ingin mengurangi jumlah garnisun Goth yang cukup kuat di Auximum (Osimo sekarang) dan membawa bala bantuan ke Mediolanum (lihat bawah), Narses lebih memilih usaha yang tersebar, termasuk operasi militer skala besar di Aemilia.[23] Belisarius tidak membiarkan perselisihan ini berlangsung lebih jauh, dan Belisarius kemudian justru bergerak bersama Narses dan Yohanes untuk merebut Urbinum. Kedua pasukan berkemah di tempat berbeda, dan tidak lama setelah itu, Narses, yang yakin bahwa kota tersebut memiliki pertahanan jempolan dan tersuplai dengan baik secara logistik, meninggalkan kemah dan bergerak menuju Ariminum. Dari situ ia mengirim Yohanes ke Aemilia, yang secepat kilat dapat ditaklukan. Lebih dari itu, dibantu oleh kekeringan yang mulai melanda Urbinum, kota itu kemudian segera jatuh ke tangan Belisarius.[24] Pada tingkatan apapun, pasukan Bizantum di Italia sekarang dikomandani oleh dua orang yang berbeda, dan hasil dari kesalahan prosedural ini akan segera tampak dengan tragis pada saat kegagalan pasukan Bizantium untuk membebaskan Mediolanum dari pengepungan bangsa Goth.

[sunting] Pengepungan dan penjarahan Mediolanum

Pada bulan April 538, Belisarius, dipetisikan oleh perwakilan dari Mediolanum (Milan), yang juga merupakan kota kedua terkaya dan terbanyak penduduknya setelah Roma, telah mengirimkan pasukan berjumlah 1.000 orang di bawah komando Mundilas menuju Mediolanum. Pasukan ini kemudian berhasil mengamankan Mediolanum dan sebagian besar wilayah Liguria, kecuali kota Ticinum (Pavia), dengan mudah. Kendati demikian, Witigis telah meminta bantuan dari kaum Frank, dan sepasukan suku Burgundi secara cepat dan tak terduga telah menyeberangi pegunungan Alpen dan bersama dengan pasukan suku Goth di bawah pimpinan Urias mengepung Mediolanum. Mediolanum sendiri pada waktu itu tidak dipertahankan dengan baik, karena pasukan Romawi telah disebar untuk menjaga kota-kota dan perbentengan di sekitar Mediolanum. Pasukan penolong segera disiapkan oleh Belisarius, tetapi bawahannya, Martinus dan Uliaris, tidak melakukan usaha apapun untuk mengakhiri pengepungan.[25] Alih-alih berusaha, mereka justru meminta bantuan lebih banyak dari Yohanes dan magister militum per Illyricum Justinus, yang beroperasi di provinsi Aemilia, dekat Mediolanum. Pada titik ini, perselisihan di antara panglima pasukan Romawi semakin memperburuk keadaan. Yohanes dan Justinus sama-sama menolak untuk bergerak tanpa perintah dari Narses, dan lebih dari itu, Yohanes kemudian jatuh sakit dan persiapan pun terhenti. Penundaan ini terbukti fatal bagi Mediolanum di kemudian hari, setelah dikepung selama beberapa bulan, kota pun mulai mengalami kelaparan. Bangsa Goth menawarkan Mundilas jaminan bahwa pasukannya tidak akan dibunuh apabila ia menyerah, tetapi mengingat tidak adanya jaminan keselamatan bagi penduduk sipil, Mundilas menolak tawaran ini sampai akhir bulan Maret 539, ketika pasukannya yang kelaparan memaksa Mundilas untuk menerima syarat-syarat dari bangsa Goth. Garnisun Romawi berhasil dirselamatkan, tetapi penduduk Mediolanum menjadi korban pembantaian bangsa Goth. Mediolanum sendiri kemudian dibakar habis.[26]

[sunting] Invasi bangsa Franka ke Italia Utara, jatuhnya Auximum dan Faesulae


Pergerakan pasukan dalam Perang Goth.
Setelah bencana tersebut menimpa pasukan Romawi, Narses dipanggil kembali ke Konstantinopel, dan Belisarius diangkat sebagai komandan tertinggi dengan otoritas mutlak atas Italia. Pada saat yang sama, Witigis mengirim duta besarnya ke istana Persia, berharap agar dapat meyakinkan Khosrau I untuk mengobarkan kembali permusuhan dengan bangsa Romawi. Apabila ini berhasil, maka Justinianus akan terpaksa untuk memfokuskan sebagian besar tentaranya, termasuk Belisarius, untuk menangani perang di timur, dan memberikan kesempatan bagi bangsa Goth untuk memperbaiki diri. Perang pasti akan datang, tetapi terlambat bagi Witigis.[27] Belisarius, demi keamanannya sendiri, berkeputusan untuk mengakhiri perang dengan menduduki Ravenna. Demi tercapainya tujuan ini, Belisarius harus berhadapan dengan dua benteng Goth di Auximum dan Faesulae (Fiesole).[28] Ketika Martinus dan Yohanes sedang sibuk mencegah tentara Goth untuk menyeberangi Sungai Po, sebagian pasukan Justinus mengepung Faesulae, dan Belisarius sendiri memimpin pasukan untuk mengepung Auximum. Ketika pengepungan sedang berlangsung, sepasukan besar bangsa Franka di bawah komando raja Theudebert I menyeberangi pegunungan Alpen dan, bersama bangsa Goth dan Romawi, mendirikan kemah tentara di kedua sisi Sungai Po. Bangsa Goth, yang mengira mereka datang sebagai sekutu, segera dipukul mundur. Pasukan Romawi yang sama terkejutnya, memberikan perlawanan tetapi juga segera dikalahkan dan segera mundur ke arah selatan, menuju Tuscany. Pada saat itu, serbuan bangsa Franka yang dapat mengubah jalannya peperangan, dikalahkan oleh merebaknya wabah disentri yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang cukup besar dan memaksa bangsa Franka untuk mundur. Belisarius berkonsentrasi untuk merebut kedua kota yang telah terkepung, yang berhasil dilakukan pada saat garnisun kedua kota dilanda kelaparan dan terpaksa menyerah pada bulan Oktober atau November tahun 539.[29]

[sunting] Perebutan Ravenna dan kepergian Belisarius

Setelah keberhasilan ini memusnahkan ancaman-ancama potensial bagi lini belakang Belisarius, dan setelah mendapat pasokan tentara-tentara baru yang masih segar dari Dalmatia, Belisarius bergerak menuju Ravenna. Detasemen-detasemen pasukan berkuda dikirim ke bagian utara sungai Po, dan armada kekaisaran terus berpatroli di laut Adriatik, mengisolasi kota Ravenna dari segala macam suplai logistik. Di dalam ibukota Goth yang terkepung, Witigis menerima duta besar bangsa Franka yang datang mencari sekutu, tetapi setelah kejadian pada musim panas selajutnya, Witigis tidak dapat mempercayai seluruh permintaan bangsa Franka lagi. Tak lama kemudian, seorang duta besar datang dari Konstantinopel, membawa syarat-syarat diplomatik yang mengejutkan dari Justinianus. Bertekad untuk mengakhiri perang dan berkonsentrasi terhadap perang melawan Persia yang mengancam, sang Kaisar menawarkan pembagian tanah Italia: wilayah di sebelah selatan Sungai Po menjadi milik kekaisaran dan wilayah di sebelah utara menjadi hak milik bagi bangsa Goth. Bangsa Goth sudah menyetujui persyaratan tersebut, tetapi Belisarius, yang menganggap hal ini sebagai pengkhianatan atas segala upaya dan pencapaiannya, menolak untuk menandatangani perjanjian ini, kendati para panglimanya tidak setuju dengan dia.[30] Kecewa, bangsa Goth mengerahkan rencana terakhirnya. Mereka menawarkan Belisarius, yang mereka hormati, untuk menjadi Kaisar Romawi Barat. Belisarius tidak memiliki keinguinan untuk menerima pengangkatan ini, tetapi ia melihat bagaimana ia dapat menggunakan kesempatan ini demi keuntungannya sendiri dan diam-diam menerima pengangkatannya. Akhirnya, pada bulan mei 540, Belisarius dan pasukannya memasuki Ravenna. Ravenna tidak dijarah, dan bangsa Goth diperlakukan dengan baik dan diperbolehkan untuk menyimpan semua harta bendaproperty mereka. Setelah penyerahan Ravenna, beberapa garnisun pasukan Goth di sebelah utara Sungai Po menyerah. Beberapa tetap berada di tangan pasukan Goth, di antaranya adalah Ticinum, markas Uraias, dan Verona yang berada di bawah perintah Ildibad. Sesaat kemudian, Belisarius bergegas menuju Konstantinopel, dimana dia menolak kehormatan untuk diarak masuk ke kota. Witigis diangkat sebagai patrician dan dikirim ke tempat pensiun yang nyaman, dan pasukan Goth yang tertangkap dikirim untuk memperkuat pasukan Bizantium.

[sunting] Masa kekuasaan Ildibad dan Eraric

"Jika Belisarius tidak ditarik mundur, dia mungkin akan dapat menuntaskan penaklukan semenanjung Apenina kurang dari beberapa bulan. Hal ini, yang merupakan solusi terbaik, dikalahkan oleh kecemburuan Justinianus; dan perdamaian yang diusulkan oleh Kaisar yang merupakan solusi terbaik kedua, dikalahkan oleh ketidakpatuhan para panglimanya. Di antara mereka, mereka bertanggung jawab atas terciptanya konflik di atas Italia yang berlangsung lebih dari 12 tahun."
John Bagnell Bury
History of the Later Roman Empire, Vol. II, Ch. XIX
Kepergian Belisarius meninggalkan sebagian besar Italia di tangan Romawi, tetapi di sisi utara Po, Ticinum dan Verona tetap tidak tertaklukan. Sesaat kemudian, ketidakpercayaan Belisarius menjadi terbukti. Bangsa Goth, di bawah hasutan Uraias, memilih Ildibad sebagai raja baru mereka. Di depan mata Belisarius sendiri, Justinianus mengacuhkan pengangkatan seorang komandan tertinggi. Ketika pasukan Romawi dan para panglimanya mengacuhkan kedisiplinan dan menjalankan aksi penjarahan, dan birokrasi kekaisaran yang baru terbentuk segera diserbu oleh ketidaksukaan masyarakat terutama atas kebijakan fiskal yang sangat opresif,[31] Ildibad kembali mengambil alih kontrol atas Venesia dan Liguria. Ildibad mengalahkan Vitalius dengan telak di Treviso, tetapi setelah Uraias terbunuh karena pertengkaran di antara istri keduanya, Ildibad pun dibunuh pada bulan Mei tahun 541. Pada titik ini, bangsa Rugia, sisa-sisa dari pasikan Odoaker yang tinggal di Italia dan memihak bangsa Goth, memproklamirkan salah satu anggota mereka, Eraric, sebagai raja baru mereka. Pilihan ini kemudian dikirimkan kepada bangsa Goth dengan penuh sikap penasaran.[32] Kendatipun demikian, Eraric mencoba membujuk bangsa Goth untuk memulai negosiasi dengan Justinianus, tetapi diam-diam berniat untuk menyerahkan wilayahnya kepada Kaisar. Bangsa Goth melihat kepasifan ini apa adanya, dan beralih kepada kemenakan Ildibad, Totila (atau Baduila), dan menawarkan dia untuk dijadikan raja. Ironisnya, Totila telah membuka negosiasi dengan bangsa Romawi, tetapi ketika dia dihubungi oleh seorang konspirator, ia diangkat. Akhirnya, pada awal musim gugur tahun 541, Eraric dibunuh dan Totila diangkat sebagai raja.[33]

[sunting] Kebangkitan bangsa Goth pimpinan Totila, 541-551

[sunting] Keberhasilan awal bangsa Goth

Totila disukai atas niatnya untuk mengembalikan kejayaan bangsa Goth atas tiga dasar: merebaknya wabah besar yang merusak dan membunuh sebagian besar populasi Kekaisaran Bizantium pada tahun 542, dimulainya perang baru antara Bizantium dan Persia, dan ketidakmampuan serta kelemahan berbagai panglima Romawi di Italia, yang memberinya keberhasilan perdana. Setelah banyak penegasan oleh Justinianus, panglima Konstantianus dan Alexander menggabungkan pasukanya dan bergerak menuju Verona. Dengan akal bulus mereka, kedua panglima ini berhasil merebut kembali gerbang Verona, tetapi kemudian tertunda sangat lama karena pertengkaran mereka soal kemungkinan bangsa Goth untuk merebut kembali gerbang tersebut, sehingga memaksa pasukan Romawi untuk mundur. Totila datang dari perkemahan mereka dekat Faventia (Faenza), dan dengan kekuatan 5.000 orang, ia berhasil mengalahkan pasukan Romawi.[34] Totila kemudian begerak menuju Tuscany, dimana dia mengepung Firenze. Tiga panglima Romawi, Yohanes, Bessas dan Cyprian berbaris untuk membantu mempertahankan Firenze, tetapi dalam sebuah pertempuran di Mucellium, pasukan mereka, meskipun unggul dalam jumlah, dikalahkan dan tercerai-berai.

[sunting] Ekspedisi militer di Italia Selatan dan jatuhnya Napoli

Alih-alih tetap di Italia Tengah, tempat pasukannya dikalahkan dalam jumlah dan bahkan satu kekalahan pun dapat menjadi bencana, Totila memutuskan untuk bergerak ke selatan, dimana garnisun Romawi jumlahnya sangat sedikit dan lemah. Ia melewati kota Roma dan segera, provinsi-provinsi di Italia selatan dipaksa untuk mengakui pemerintahannya. Operasi militer ini secara tersirat menggambarkan titik krusial dari strategi Totila: pergerakan cepat untuk merebut kendali atas pedesaan, mengisolasi pasukan Romawi di benteng-benteng pertahanan, sebagian besar di daerah pantai, yang dapat dihancurkan kemudian. Ketika sebuah benteng pertahanan jatuh, tembok pertahanannya biasanya diruntuhkan agar benteng tersebut tak lagi bernilai secara militer. Lebih jauh, Totila menerapkan kebijakan untuk memperlakukan tawanannya dengan baik, sehingga membuat mereka lebih memilih menyerah daripada melawan sampai akhir, dan secara aktif berusaha memenangkan hati masyarakat Italia. Pada saat yang sama, operasi militernya mengakibatkan gangguan serius terhadap sistem fiskal kekaisaran di Italia, sejak sekarang pajak mengalir ke kantong Totila, dan pembayaran pasukan Romawi mulai terganggu.
Segera, pasukannya bergerak menuju Napoli, yang dipertahankan oleh panglima Conon bersama 1.000 pasukan. Upaya mengadakan pasukan tambahan berskala besar dilakukan oleh magister militum Demetrius yang baru saja diangkat dari Sisilia dicegat dan hamper seluruhnya dihancurkan oleh kapal-kapal perang pasukan Goth. Mengetahui kondisi pasukan bertahan, Totila menjanjikan jalur aman bagi pasukan bertahan apabila mereka menyerah. Terdesak oleh kelaparan, Conon menerimanya, dan pada akhir Maret sampai awal April 543, Napoli menyerah.[35]

[sunting] Belisarius kembali ke Italia

Mengambil keuntungan dari gencatan senjata selama lima tahun di Persia, Belisarius dikirm kembali ke Italia bersama 200 kapal perang[36] pada tahun 544, ketika ia mengetahui bahwa situasi telah banyak berubah. Ia gagal untuk mencegah jatuhnya Roma ketika dikepung oleh Totila pada tahun 546, meskipun akhirnya ia dapat merebut Roma kembali pada tahun 547. Kendatipun demikian, operasi militer Italianya yang kedua terbukti gagal akibat ketiadaan suplai logistik dan bantuan pasukan karena kecemburuan Justinianus, apabila kita mengambil pandangan Procopius. Roma dikepung lagi oleh Totila untuk ketiga kalinya pada tahun 549, yang tawaran perdamaiannya ditolak oleh Justinianus.

[sunting] Narses menaklukan Italia, 551-554


Die Gotenschlacht am Vesuv oleh Alexander Zick, menggambarkan Pertempuran Mons Lactarius.
Operasi militer baru sedang dirancang oleh kemenakan Justinianus, Germanus Justinus. Seiring kematian Germanus pada tahun 551, Narses mengambil alih peperangan melawan Totila, dan Totila berhasil dikalahkan dan dibunuh pada Pertempuran Taginae. Bangsa Goth yang masih bertahan di Roma segera dilucuti persenjataannya, dan pada Pertempuran Mons Lactarius, bulan Oktober 553, Narses mengalahkan Teias dan sisa-sisa pasukan Goth di Italia.

[sunting] Hasil akhir

Kemenangan tipis pada Perang Goth menguras hampir seluruh sumber daya Kekaisaran Bizantium yang seharusnya dapat dipergunakan untuk melawan ancaman yang lebih mengerikan di timur. Di Italia, perang merusak hampir seluruh tatanan sosial masyarakat kota yang didukung oleh penduduk pedesaan. Kota Roma dan para sekutunya kemudian ditelantarkan seiring kejatuhan Italia ke dalam sebuah periode kejatuhan yang panjang. Kejatuhan Italia dan terkurasnya sumber daya kekaisaran, membuat Kekaisaran Bizantium tidak dapat lagi memegang kendali atas Italia. Hasil taklukan kekaisaran segera lepas: hanya tiga tahun pasca kematian Justinianus, daerah Italia jatuh ke tangan suku Jerman, bangsa Lombardia, meninggalkan daerah Ravenna, dan secuil daerah yang tersebar dari Italia Tengah sampai Laut Tirenia dan selatan Napoli, beserta bagian-bagian dari Italia Selatan sebagai sisa-sisa taklukan kekaisaran. Justinianus juga mampu untuk menguasai kembali Hispania Selatan tetapi daerah itu juga ditaklukan oleh suku Jerman beberapa dekade kemudian. Setelah perang Goth, Kekaisaran Bizantium tidak lagi melakukan ekspedisi yang ambisius di barat. Roma sendiri tetap berada di tangan kekaisaran sampai daerah Ravenna akhirnya dihancurkan oleh bangsa Lombardia pada tahun 751. Italia Selatan tetap dalam kendali Romawi Timur (dikelola langsung dari Konstantinopel) sa
mpa akhir abad ke-11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar